Sumatera Utara menurut Indra Wahidin sangat bersyukur hingga saat ini masih tetap dianggap sebagai salah satu daerah yang sangat heterogen namun masih tetap dalam kondisi yang kondusif. Namun menurutnya ditengah suasana kondusif tersebut, masih tetap ada friksi-friksi ditengah masyarakat yang sangat membutuhkan kehadiran negara untuk menyelesaikannya.
Ia mencontohkan kerusuhan bermotif SARA yang terjadi di Tanjung Balai beberapa waktu lalu. Hingga saat ini bagi kalangan umat Budha dan berasal dari suku Tionghoa menurutnya masih tetap merasa tidak adil, karena para pelaku pembakaran vihara dihukum ringan. Sementara, seorang ibu yang pernyataannya disalahartikan dan disebut sebagai pemicu kerusuhan mendapat hukuman yang berat.
\"Meski demikian mekanisme yang berlaku di negara ini, itulah yang harus terus kita tempuh,\" ujarnya.
Selain itu, dalam forum tersebut Indra juga menyoroti aturan-aturan dalam pembangunan rumah ibadah yang saat ini juga masih sangat rumit karena diatur sedemikian rupa lewat peraturan lintas menteri. Padahal menurutnya dalam penerapan aturan perizinan saja yang merupakan aplikasi dari peraturan tersebut, justru banyak ditemukan persoalan.
\"Maka dalam forum ini saya ingin mempertanyakan apakah pembangunan rumah ibadah ini masih perlu diatur. Karena saya melihat semakin diatur justru semakin tidak teratur,\" pungkasnya." itemprop="description"/>
Sumatera Utara menurut Indra Wahidin sangat bersyukur hingga saat ini masih tetap dianggap sebagai salah satu daerah yang sangat heterogen namun masih tetap dalam kondisi yang kondusif. Namun menurutnya ditengah suasana kondusif tersebut, masih tetap ada friksi-friksi ditengah masyarakat yang sangat membutuhkan kehadiran negara untuk menyelesaikannya.
Ia mencontohkan kerusuhan bermotif SARA yang terjadi di Tanjung Balai beberapa waktu lalu. Hingga saat ini bagi kalangan umat Budha dan berasal dari suku Tionghoa menurutnya masih tetap merasa tidak adil, karena para pelaku pembakaran vihara dihukum ringan. Sementara, seorang ibu yang pernyataannya disalahartikan dan disebut sebagai pemicu kerusuhan mendapat hukuman yang berat.
\"Meski demikian mekanisme yang berlaku di negara ini, itulah yang harus terus kita tempuh,\" ujarnya.
Selain itu, dalam forum tersebut Indra juga menyoroti aturan-aturan dalam pembangunan rumah ibadah yang saat ini juga masih sangat rumit karena diatur sedemikian rupa lewat peraturan lintas menteri. Padahal menurutnya dalam penerapan aturan perizinan saja yang merupakan aplikasi dari peraturan tersebut, justru banyak ditemukan persoalan.
\"Maka dalam forum ini saya ingin mempertanyakan apakah pembangunan rumah ibadah ini masih perlu diatur. Karena saya melihat semakin diatur justru semakin tidak teratur,\" pungkasnya."/>
Sumatera Utara menurut Indra Wahidin sangat bersyukur hingga saat ini masih tetap dianggap sebagai salah satu daerah yang sangat heterogen namun masih tetap dalam kondisi yang kondusif. Namun menurutnya ditengah suasana kondusif tersebut, masih tetap ada friksi-friksi ditengah masyarakat yang sangat membutuhkan kehadiran negara untuk menyelesaikannya.
Ia mencontohkan kerusuhan bermotif SARA yang terjadi di Tanjung Balai beberapa waktu lalu. Hingga saat ini bagi kalangan umat Budha dan berasal dari suku Tionghoa menurutnya masih tetap merasa tidak adil, karena para pelaku pembakaran vihara dihukum ringan. Sementara, seorang ibu yang pernyataannya disalahartikan dan disebut sebagai pemicu kerusuhan mendapat hukuman yang berat.
\"Meski demikian mekanisme yang berlaku di negara ini, itulah yang harus terus kita tempuh,\" ujarnya.
Selain itu, dalam forum tersebut Indra juga menyoroti aturan-aturan dalam pembangunan rumah ibadah yang saat ini juga masih sangat rumit karena diatur sedemikian rupa lewat peraturan lintas menteri. Padahal menurutnya dalam penerapan aturan perizinan saja yang merupakan aplikasi dari peraturan tersebut, justru banyak ditemukan persoalan.
\"Maka dalam forum ini saya ingin mempertanyakan apakah pembangunan rumah ibadah ini masih perlu diatur. Karena saya melihat semakin diatur justru semakin tidak teratur,\" pungkasnya."/>
Tokoh agama Budha di Sumatera Utara, DR Indra Wahidin mengatakan saat ini friksi ditengah masyarakat akibat isu SARA masih terus dimunculkan. Hal ini semakin memprihatinkan belakangan ini dan semakin mengkhawatirkan. Hal ini disampaikannya saat berbicara pada Sarasehan Kebangsaan 'Merawat Kebhinekaan Mengokohkan Kebangsaan' yang digelar oleh Gerakan Suluh Kebangsaan di Hotel Four Points Medan, Sabtu (9/2/2019).
"Sekarang ini selalu muncul istilah minoritas, mayoritas, inklusif dan lainnya. Itu sebenarnya berangkat dari kondisi yang sebenarnya ada di lapangan," katanya.
Sumatera Utara menurut Indra Wahidin sangat bersyukur hingga saat ini masih tetap dianggap sebagai salah satu daerah yang sangat heterogen namun masih tetap dalam kondisi yang kondusif. Namun menurutnya ditengah suasana kondusif tersebut, masih tetap ada friksi-friksi ditengah masyarakat yang sangat membutuhkan kehadiran negara untuk menyelesaikannya.
Ia mencontohkan kerusuhan bermotif SARA yang terjadi di Tanjung Balai beberapa waktu lalu. Hingga saat ini bagi kalangan umat Budha dan berasal dari suku Tionghoa menurutnya masih tetap merasa tidak adil, karena para pelaku pembakaran vihara dihukum ringan. Sementara, seorang ibu yang pernyataannya disalahartikan dan disebut sebagai pemicu kerusuhan mendapat hukuman yang berat.
"Meski demikian mekanisme yang berlaku di negara ini, itulah yang harus terus kita tempuh," ujarnya.
Selain itu, dalam forum tersebut Indra juga menyoroti aturan-aturan dalam pembangunan rumah ibadah yang saat ini juga masih sangat rumit karena diatur sedemikian rupa lewat peraturan lintas menteri. Padahal menurutnya dalam penerapan aturan perizinan saja yang merupakan aplikasi dari peraturan tersebut, justru banyak ditemukan persoalan.
"Maka dalam forum ini saya ingin mempertanyakan apakah pembangunan rumah ibadah ini masih perlu diatur. Karena saya melihat semakin diatur justru semakin tidak teratur," pungkasnya.
Tokoh agama Budha di Sumatera Utara, DR Indra Wahidin mengatakan saat ini friksi ditengah masyarakat akibat isu SARA masih terus dimunculkan. Hal ini semakin memprihatinkan belakangan ini dan semakin mengkhawatirkan. Hal ini disampaikannya saat berbicara pada Sarasehan Kebangsaan 'Merawat Kebhinekaan Mengokohkan Kebangsaan' yang digelar oleh Gerakan Suluh Kebangsaan di Hotel Four Points Medan, Sabtu (9/2/2019).
"Sekarang ini selalu muncul istilah minoritas, mayoritas, inklusif dan lainnya. Itu sebenarnya berangkat dari kondisi yang sebenarnya ada di lapangan," katanya.
Sumatera Utara menurut Indra Wahidin sangat bersyukur hingga saat ini masih tetap dianggap sebagai salah satu daerah yang sangat heterogen namun masih tetap dalam kondisi yang kondusif. Namun menurutnya ditengah suasana kondusif tersebut, masih tetap ada friksi-friksi ditengah masyarakat yang sangat membutuhkan kehadiran negara untuk menyelesaikannya.
Ia mencontohkan kerusuhan bermotif SARA yang terjadi di Tanjung Balai beberapa waktu lalu. Hingga saat ini bagi kalangan umat Budha dan berasal dari suku Tionghoa menurutnya masih tetap merasa tidak adil, karena para pelaku pembakaran vihara dihukum ringan. Sementara, seorang ibu yang pernyataannya disalahartikan dan disebut sebagai pemicu kerusuhan mendapat hukuman yang berat.
"Meski demikian mekanisme yang berlaku di negara ini, itulah yang harus terus kita tempuh," ujarnya.
Selain itu, dalam forum tersebut Indra juga menyoroti aturan-aturan dalam pembangunan rumah ibadah yang saat ini juga masih sangat rumit karena diatur sedemikian rupa lewat peraturan lintas menteri. Padahal menurutnya dalam penerapan aturan perizinan saja yang merupakan aplikasi dari peraturan tersebut, justru banyak ditemukan persoalan.
"Maka dalam forum ini saya ingin mempertanyakan apakah pembangunan rumah ibadah ini masih perlu diatur. Karena saya melihat semakin diatur justru semakin tidak teratur," pungkasnya.