Semua ini akan lebih mudah difahami dengan terlebih dahulu berusaha meletakkan fakta-fakta empiris yang ada pada alur benang merah telaahan objektif sehingga bertemu dengan konteks yang tepat dalam sistem politik Indonesia kontemporer. Artinya ini adalah bagian dari sistem yang sekaligus dengan mudah dikenali sebagai anomali demokrasi. Sayangnya basis anomali demokrasi itu telah disahkan oleh sistem politik yang dikukuhkan oleh regulasi demi regulasi yang sudah “lama dipersiapkan”. Kita ingat, regulasi tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah itu adalah salah satu regulasi yang paling banyak direvisi di Indonesia. Kekerapan revisi regulasi itu mencerminkan kecanggungan Jakarta memandang daerah dalam kaitan yang serius dengan bayang-bayang traumatik politik masa lalu seputar isu unitarisme dan federalisme. Sayangnya orang-orang daerah yang diorbitkan ke pusat melalui rekrutmen lima tahunan (pemilu) lazimnya segera terkooptasi oleh gagasan oligarki politik sehingga tidak memiliki keberanian untuk mewacanakan demokratisasi yang sesuai dengan nilai-nilai peradaban baru yang seyogyanya mengindahkan negosiasi porsi yang wajar untuk mengakomodasi aspirasi daerah. Misalnya, Sumut memiliki 30 anggota DPR-RI dari 3 dapil dan 4 anggota DPD-RI. Mereka, bersama semua wakil-wakil dari Provinsi lainnya di Indonesia, nyaman saja menyaksikan model rekrutmen Calon Kepala Daerah dengan tanpa merasa perlu mengakomodasi aspirasi rakyat daerahnya. Lebih jauh sistem politik yang dibangun didorong pula untuk mengukuhkan model rekrutmen itu sebagai karakteristik khas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibatnya aspirasi daerah dalam pilkada kerap berseberangan dengan aspirasi rakyat daerah. Figur yang ditetapkan pusat bahkan kerap tidak dikenal oleh daerah sekaligus tidak mengenal wilayah dan rakyat daerah. Padahal semua pemilihan langsung memprasyaratkan figur yang diusung dikenal dan mengenal daerah. Jelas hal ini tak dapat disesatkan dengan angka-angka statistik tentang popularitas dan elektabilitas. Di Sumatera Utara cukup banyak kasus yang memperkuat kebenaran kisah yang saya ceritakan dan tak sedikit di antaranya yang berakhir dengan kegagalan. Anomali ini akan terasa lebih parah ketika dikonfrontir dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Secara formal Orde Baru berusaha mempertahankan koherensi, korespondensi dan konsistensi pemilihan dengan nilai-nilai Pancasila dengan proses rekrutmen eksekutif (Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden) tidak secara langsung. Hanya satu pemilihan langsung pada zaman Orde Baru, yakni untuk mengisi kursi legislatif. Mereka yang menjadi legislator itulah yang memilih Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden. Ingat bahwa model pemilihan langsung (Kepala Daerah) ini pernah diundangkan pada akhir masa jabatan Presiden SBY dan yang segera dibatalkan sendiri oleh Presiden SBY melalui Perppu. Perppu itu sendiri segera diundangkan tak lama setelah Presiden Joko Widodo dilantik. Kepetahanaan Tidak ada orang yang tak mengakui political benefit petahana dalam rivalitas Pilkada. Akhyar Nasution ada pada status dan posisi itu. Apalagi dalam masa krisis akibat wabah covid-19 sekarang ini, seseorang petahana di daerah mana pun di Indonesia akan beroleh kesempatan luas berinprovisasi dalam melayani rakyatnya tanpa harus menyimpang dari kewenangannya sebagai Kepala Daerah. Jika kita perbandingkan dengan berbagai fenomena di negara demokrasi di seluruh dunia, hal serupa juga terjadi. Bahkan negara paling maju dalam berdemokrasi pun, political benefit ini selalu berpengaruh secara signifikan. Di Amerika misalnya,hampir semua petahana memenangi pemilihan presiden. Untuk kasus kota Medan 2020, sensitivitasnya menjadi berlipat ganda karena faktanya Akhyar Nasution yang merasa yakin tak akan dicalonkan dari partai yang membesarkannya dan yang ia sendiri pun ikut membesarkannya, dalam waktu yang tepat segera mengambil langkah. Sinergitas yang dibangunnya bersama dua partai secara kebetulan berada di luar pemerintahan (tidak menjadi bagian dari koalisi pemerintahan yang sedang berkuasa), yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). Keluhan Muhri Fauzi Hafiz Dalam kaitan itulah saya meletakkan keluhan seorang kader Partai Demokrat, Muhri Fauzi Hafiz, yang partainya menyumbang 4 kursi untuk koalisi bersama PKS yang memiliki 7 kursi. Ketimbang kepada Akhyar Nasution, adressing keluhan Muhri Fauzi Hafiz saya lihat lebih ditujukan kepada sistem oligarki yang diceritakan di atas dan ia tak sendirian dalam keluhan serupa karena hal yang sama pastilah terjadi pada partai yang ditinggalkan oleh Akhyar Nasution. Perbedaannya sangat jelas, bahwa orang yang mengeluh di PDI Perjuangan potensil membangun solidaritas mendukung pemenangan Akhyar Nasution, dan pastilah keluhan Muhri Fauzi Hafiz tidak akan membawanya pergi ke kubu pasangan yang didukung oleh PDI Perjuangan.*** Penulis adalah Sohibul Ansor Siregar, Pengamat politik dan akademisi UMSU
Semua ini akan lebih mudah difahami dengan terlebih dahulu berusaha meletakkan fakta-fakta empiris yang ada pada alur benang merah telaahan objektif sehingga bertemu dengan konteks yang tepat dalam sistem politik Indonesia kontemporer. Artinya ini adalah bagian dari sistem yang sekaligus dengan mudah dikenali sebagai anomali demokrasi. Sayangnya basis anomali demokrasi itu telah disahkan oleh sistem politik yang dikukuhkan oleh regulasi demi regulasi yang sudah “lama dipersiapkan”. Kita ingat, regulasi tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah itu adalah salah satu regulasi yang paling banyak direvisi di Indonesia. Kekerapan revisi regulasi itu mencerminkan kecanggungan Jakarta memandang daerah dalam kaitan yang serius dengan bayang-bayang traumatik politik masa lalu seputar isu unitarisme dan federalisme. Sayangnya orang-orang daerah yang diorbitkan ke pusat melalui rekrutmen lima tahunan (pemilu) lazimnya segera terkooptasi oleh gagasan oligarki politik sehingga tidak memiliki keberanian untuk mewacanakan demokratisasi yang sesuai dengan nilai-nilai peradaban baru yang seyogyanya mengindahkan negosiasi porsi yang wajar untuk mengakomodasi aspirasi daerah. Misalnya, Sumut memiliki 30 anggota DPR-RI dari 3 dapil dan 4 anggota DPD-RI. Mereka, bersama semua wakil-wakil dari Provinsi lainnya di Indonesia, nyaman saja menyaksikan model rekrutmen Calon Kepala Daerah dengan tanpa merasa perlu mengakomodasi aspirasi rakyat daerahnya. Lebih jauh sistem politik yang dibangun didorong pula untuk mengukuhkan model rekrutmen itu sebagai karakteristik khas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibatnya aspirasi daerah dalam pilkada kerap berseberangan dengan aspirasi rakyat daerah. Figur yang ditetapkan pusat bahkan kerap tidak dikenal oleh daerah sekaligus tidak mengenal wilayah dan rakyat daerah. Padahal semua pemilihan langsung memprasyaratkan figur yang diusung dikenal dan mengenal daerah. Jelas hal ini tak dapat disesatkan dengan angka-angka statistik tentang popularitas dan elektabilitas. Di Sumatera Utara cukup banyak kasus yang memperkuat kebenaran kisah yang saya ceritakan dan tak sedikit di antaranya yang berakhir dengan kegagalan. Anomali ini akan terasa lebih parah ketika dikonfrontir dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Secara formal Orde Baru berusaha mempertahankan koherensi, korespondensi dan konsistensi pemilihan dengan nilai-nilai Pancasila dengan proses rekrutmen eksekutif (Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden) tidak secara langsung. Hanya satu pemilihan langsung pada zaman Orde Baru, yakni untuk mengisi kursi legislatif. Mereka yang menjadi legislator itulah yang memilih Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden. Ingat bahwa model pemilihan langsung (Kepala Daerah) ini pernah diundangkan pada akhir masa jabatan Presiden SBY dan yang segera dibatalkan sendiri oleh Presiden SBY melalui Perppu. Perppu itu sendiri segera diundangkan tak lama setelah Presiden Joko Widodo dilantik. Kepetahanaan Tidak ada orang yang tak mengakui political benefit petahana dalam rivalitas Pilkada. Akhyar Nasution ada pada status dan posisi itu. Apalagi dalam masa krisis akibat wabah covid-19 sekarang ini, seseorang petahana di daerah mana pun di Indonesia akan beroleh kesempatan luas berinprovisasi dalam melayani rakyatnya tanpa harus menyimpang dari kewenangannya sebagai Kepala Daerah. Jika kita perbandingkan dengan berbagai fenomena di negara demokrasi di seluruh dunia, hal serupa juga terjadi. Bahkan negara paling maju dalam berdemokrasi pun, political benefit ini selalu berpengaruh secara signifikan. Di Amerika misalnya,hampir semua petahana memenangi pemilihan presiden. Untuk kasus kota Medan 2020, sensitivitasnya menjadi berlipat ganda karena faktanya Akhyar Nasution yang merasa yakin tak akan dicalonkan dari partai yang membesarkannya dan yang ia sendiri pun ikut membesarkannya, dalam waktu yang tepat segera mengambil langkah. Sinergitas yang dibangunnya bersama dua partai secara kebetulan berada di luar pemerintahan (tidak menjadi bagian dari koalisi pemerintahan yang sedang berkuasa), yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). Keluhan Muhri Fauzi Hafiz Dalam kaitan itulah saya meletakkan keluhan seorang kader Partai Demokrat, Muhri Fauzi Hafiz, yang partainya menyumbang 4 kursi untuk koalisi bersama PKS yang memiliki 7 kursi. Ketimbang kepada Akhyar Nasution, adressing keluhan Muhri Fauzi Hafiz saya lihat lebih ditujukan kepada sistem oligarki yang diceritakan di atas dan ia tak sendirian dalam keluhan serupa karena hal yang sama pastilah terjadi pada partai yang ditinggalkan oleh Akhyar Nasution. Perbedaannya sangat jelas, bahwa orang yang mengeluh di PDI Perjuangan potensil membangun solidaritas mendukung pemenangan Akhyar Nasution, dan pastilah keluhan Muhri Fauzi Hafiz tidak akan membawanya pergi ke kubu pasangan yang didukung oleh PDI Perjuangan.*** Penulis adalah Sohibul Ansor Siregar, Pengamat politik dan akademisi UMSU© Copyright 2024, All Rights Reserved