Pelaksanaan Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020, menunjukkan bagaimana keberadaan jadi diri Parpol yang sebenarnya. Dimana Posisi Kader Parpol, Otonomi Parpol Kabupaten/Kota dan Propinsi?, Di Era Reformasi Pemilukada Serentak saat ini jelas terlihat adanya Oligarki Parpol dalam menentukan siapa Calon yang diusung dalam Pilkada Serentak. Parpol terindikasi menguat pada alas pikir bagaimana dapat meraih kekuasaan dan Kemenangan semata, tanpa memikirkan keberadaan para kadernya. Dengan kata lain kualitas dan pelatihan yang selama ini didapatkan oleh para kader dianggap angin lalu saja. Mengutip pendapat bukunya Nurohman (2018) mengutip pemikiran Jeffrey A Winters dalam bukunya “Oligarhy” menjelaskan bahwa oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal yang tidak terbatas. Kemudian oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Dengan demikian, oligarki selalu berorientasi memainkan kekuasaan sesuai dengan keinginan para elite dan kelompoknya. Politik transaksional terlihat dalam pengisian jabatan politik atas dasar konsep siapa dapat apa dan mengesampingkan kualitas. Hal ini menjadi tren dan tentunya cenderung membahayakan bagi demokrasi karena demokrasi tidak akan menghasilkan apapun selain kepentingan elit politik semata. Schattsceider (1942) megatakan “Political parties created democracy” yang berarti keberadaan demokrasi sangat tergantung kepada partai politik, bila kita memakai pendapat Schattsceider, maka dapat saya katakan bahwa hakikat Demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat telah jauh dari harapan. Oligarki dan kemunafikan Parpol pastinya akan menimbulkan perpecahan dan menyakitkan para kader parpol dan simpatisan parpol yang ada. Padahal dalam perspektif pilkada kekuasaan itu hannya Lima dan sepuluh tahun atau paling banyak dua periode saja, seterusnya siapa yang menjalankan aktivitas parpol? Masyarakat dengan gampangnya dapat melihat bagaimana kejamnya parpol menghajar para kader militannya, apa lagi kepada orang yang diluar kader militannya?. Sinetron Oligarki Parpol yang ditampilkan oleh Parpol menimbulkan dampak destruktif/kehancuran bagi kader parpol dan masyarakat umumnya. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas, adanya kader parpol yang keluar dari Parpolnya apakah dengan kesadaran sendiri atau dipecat dari keanggotaan parpolnya, terjadinya kubu-kubuan dan kelompok yang tidak sehat antar kader dan simpatisan parpol, dan tidak dinafikan juga masyarakat menjadi apatis terhadap haknya karena menganggap dan merasa calon yang diusung oleh parpol tidak sesuai dengan harapan mereka, akhirnya kotak kosong yang menang. Saran saya secepatnya Parpol insyaf dan melaksanakan suatu kajian terhadap sikap oligarki parpol.[R] Oleh : Anuar Sadat, S.Sos, M.Si (Wakil Dekan Bagian Akademik Dan Dakwah Islamiyah Fisip UISU)
Pelaksanaan Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020, menunjukkan bagaimana keberadaan jadi diri Parpol yang sebenarnya. Dimana Posisi Kader Parpol, Otonomi Parpol Kabupaten/Kota dan Propinsi?, Di Era Reformasi Pemilukada Serentak saat ini jelas terlihat adanya Oligarki Parpol dalam menentukan siapa Calon yang diusung dalam Pilkada Serentak. Parpol terindikasi menguat pada alas pikir bagaimana dapat meraih kekuasaan dan Kemenangan semata, tanpa memikirkan keberadaan para kadernya. Dengan kata lain kualitas dan pelatihan yang selama ini didapatkan oleh para kader dianggap angin lalu saja. Mengutip pendapat bukunya Nurohman (2018) mengutip pemikiran Jeffrey A Winters dalam bukunya “Oligarhy” menjelaskan bahwa oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal yang tidak terbatas. Kemudian oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Dengan demikian, oligarki selalu berorientasi memainkan kekuasaan sesuai dengan keinginan para elite dan kelompoknya. Politik transaksional terlihat dalam pengisian jabatan politik atas dasar konsep siapa dapat apa dan mengesampingkan kualitas. Hal ini menjadi tren dan tentunya cenderung membahayakan bagi demokrasi karena demokrasi tidak akan menghasilkan apapun selain kepentingan elit politik semata. Schattsceider (1942) megatakan “Political parties created democracy” yang berarti keberadaan demokrasi sangat tergantung kepada partai politik, bila kita memakai pendapat Schattsceider, maka dapat saya katakan bahwa hakikat Demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat telah jauh dari harapan. Oligarki dan kemunafikan Parpol pastinya akan menimbulkan perpecahan dan menyakitkan para kader parpol dan simpatisan parpol yang ada. Padahal dalam perspektif pilkada kekuasaan itu hannya Lima dan sepuluh tahun atau paling banyak dua periode saja, seterusnya siapa yang menjalankan aktivitas parpol? Masyarakat dengan gampangnya dapat melihat bagaimana kejamnya parpol menghajar para kader militannya, apa lagi kepada orang yang diluar kader militannya?. Sinetron Oligarki Parpol yang ditampilkan oleh Parpol menimbulkan dampak destruktif/kehancuran bagi kader parpol dan masyarakat umumnya. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas, adanya kader parpol yang keluar dari Parpolnya apakah dengan kesadaran sendiri atau dipecat dari keanggotaan parpolnya, terjadinya kubu-kubuan dan kelompok yang tidak sehat antar kader dan simpatisan parpol, dan tidak dinafikan juga masyarakat menjadi apatis terhadap haknya karena menganggap dan merasa calon yang diusung oleh parpol tidak sesuai dengan harapan mereka, akhirnya kotak kosong yang menang. Saran saya secepatnya Parpol insyaf dan melaksanakan suatu kajian terhadap sikap oligarki parpol. Oleh : Anuar Sadat, S.Sos, M.Si (Wakil Dekan Bagian Akademik Dan Dakwah Islamiyah Fisip UISU)© Copyright 2024, All Rights Reserved