Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu.
\"Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti,\" katanya.
Dia memberi contoh pada pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo yang kini sedang dibangun pemerintah. Bandara tersebut dekat dengan patahan yang berada di Laut Selatan Jawa sehingga berpotensi menghadapi gempa dan tsunami. Pembangunan tetap bisa dilaksanakan sepanjang menyiapkan mitigasi risiko jika gempa dan tsunami terjadi.
\"Jadi bangunannya harus ramah tsunami. Misalnya, orientasi bangunannya akan mengalirkan gelombang sehingga tetap aman,\" katanya.
Dia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.
Ditanya soal berapa jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru menyatakan, pada garis patahan seperti yang ada di Palu-Koro, Sulawesi Tengah, jelas tidak bisa dimanfatkan untuk bangunan. Namun banyak pendapat pakar terkait jarak dari garis patahan yang masuk wilayah aman (buffer zone).
Dia mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika Serikat, bangun bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan. Namun dia mengingatkan, bangunan yang dibangun tetap harus memenuhi kualifikasi ketahanan gempa.
Sukamandaru juga mengingatkan, selain ketahan gempa, yang juga harus dipersiapkan dalam mitigasi bencana geologis adalah manusia yang hidup dan bekerja di wilayah tersebut. Untuk itu, pengetahuan mitigasi bencana harus terus menerus disampaikan. \"Manusianya juga harus disadarkan kalau hidup dan bekerja di daerah rawan gempa dan tsunami. Jadi kalau ada gejala atau peringatan dari pemerintah, sudah siap,\" pungkasnya." itemprop="description"/>
Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu.
\"Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti,\" katanya.
Dia memberi contoh pada pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo yang kini sedang dibangun pemerintah. Bandara tersebut dekat dengan patahan yang berada di Laut Selatan Jawa sehingga berpotensi menghadapi gempa dan tsunami. Pembangunan tetap bisa dilaksanakan sepanjang menyiapkan mitigasi risiko jika gempa dan tsunami terjadi.
\"Jadi bangunannya harus ramah tsunami. Misalnya, orientasi bangunannya akan mengalirkan gelombang sehingga tetap aman,\" katanya.
Dia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.
Ditanya soal berapa jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru menyatakan, pada garis patahan seperti yang ada di Palu-Koro, Sulawesi Tengah, jelas tidak bisa dimanfatkan untuk bangunan. Namun banyak pendapat pakar terkait jarak dari garis patahan yang masuk wilayah aman (buffer zone).
Dia mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika Serikat, bangun bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan. Namun dia mengingatkan, bangunan yang dibangun tetap harus memenuhi kualifikasi ketahanan gempa.
Sukamandaru juga mengingatkan, selain ketahan gempa, yang juga harus dipersiapkan dalam mitigasi bencana geologis adalah manusia yang hidup dan bekerja di wilayah tersebut. Untuk itu, pengetahuan mitigasi bencana harus terus menerus disampaikan. \"Manusianya juga harus disadarkan kalau hidup dan bekerja di daerah rawan gempa dan tsunami. Jadi kalau ada gejala atau peringatan dari pemerintah, sudah siap,\" pungkasnya."/>
Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu.
\"Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti,\" katanya.
Dia memberi contoh pada pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo yang kini sedang dibangun pemerintah. Bandara tersebut dekat dengan patahan yang berada di Laut Selatan Jawa sehingga berpotensi menghadapi gempa dan tsunami. Pembangunan tetap bisa dilaksanakan sepanjang menyiapkan mitigasi risiko jika gempa dan tsunami terjadi.
\"Jadi bangunannya harus ramah tsunami. Misalnya, orientasi bangunannya akan mengalirkan gelombang sehingga tetap aman,\" katanya.
Dia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.
Ditanya soal berapa jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru menyatakan, pada garis patahan seperti yang ada di Palu-Koro, Sulawesi Tengah, jelas tidak bisa dimanfatkan untuk bangunan. Namun banyak pendapat pakar terkait jarak dari garis patahan yang masuk wilayah aman (buffer zone).
Dia mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika Serikat, bangun bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan. Namun dia mengingatkan, bangunan yang dibangun tetap harus memenuhi kualifikasi ketahanan gempa.
Sukamandaru juga mengingatkan, selain ketahan gempa, yang juga harus dipersiapkan dalam mitigasi bencana geologis adalah manusia yang hidup dan bekerja di wilayah tersebut. Untuk itu, pengetahuan mitigasi bencana harus terus menerus disampaikan. \"Manusianya juga harus disadarkan kalau hidup dan bekerja di daerah rawan gempa dan tsunami. Jadi kalau ada gejala atau peringatan dari pemerintah, sudah siap,\" pungkasnya."/>
Wilayah yang berada di dekat sesar bumi aktif tetap bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun diperlukan penguatan bangunan dengan perlakuan teknik sipil sebagai mitigasi terjadinya aktivitas geologi.
Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menyatakan, hampir seluruh wilayah Indonesia ada patahan (sesar) bumi aktif, kecuali di Kalimantan. Ini berarti pembangunan infrastruktur harus mendapat perlakuan khusus untuk meminimalisasi risiko jika terjadi aktivitas geologi seperti gempa.
"Ada pekerjaan enginering yang lebih. Misalnya penguatan bangunan secara teknis sipil," katanya ketika dihubungi wartawan, Minggu (13/1/2019).
Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu.
"Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti," katanya.
Dia memberi contoh pada pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo yang kini sedang dibangun pemerintah. Bandara tersebut dekat dengan patahan yang berada di Laut Selatan Jawa sehingga berpotensi menghadapi gempa dan tsunami. Pembangunan tetap bisa dilaksanakan sepanjang menyiapkan mitigasi risiko jika gempa dan tsunami terjadi.
"Jadi bangunannya harus ramah tsunami. Misalnya, orientasi bangunannya akan mengalirkan gelombang sehingga tetap aman," katanya.
Dia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.
Ditanya soal berapa jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru menyatakan, pada garis patahan seperti yang ada di Palu-Koro, Sulawesi Tengah, jelas tidak bisa dimanfatkan untuk bangunan. Namun banyak pendapat pakar terkait jarak dari garis patahan yang masuk wilayah aman (buffer zone).
Dia mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika Serikat, bangun bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan. Namun dia mengingatkan, bangunan yang dibangun tetap harus memenuhi kualifikasi ketahanan gempa.
Sukamandaru juga mengingatkan, selain ketahan gempa, yang juga harus dipersiapkan dalam mitigasi bencana geologis adalah manusia yang hidup dan bekerja di wilayah tersebut. Untuk itu, pengetahuan mitigasi bencana harus terus menerus disampaikan. "Manusianya juga harus disadarkan kalau hidup dan bekerja di daerah rawan gempa dan tsunami. Jadi kalau ada gejala atau peringatan dari pemerintah, sudah siap," pungkasnya.
Wilayah yang berada di dekat sesar bumi aktif tetap bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun diperlukan penguatan bangunan dengan perlakuan teknik sipil sebagai mitigasi terjadinya aktivitas geologi.
Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menyatakan, hampir seluruh wilayah Indonesia ada patahan (sesar) bumi aktif, kecuali di Kalimantan. Ini berarti pembangunan infrastruktur harus mendapat perlakuan khusus untuk meminimalisasi risiko jika terjadi aktivitas geologi seperti gempa.
"Ada pekerjaan enginering yang lebih. Misalnya penguatan bangunan secara teknis sipil," katanya ketika dihubungi wartawan, Minggu (13/1/2019).
Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu.
"Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti," katanya.
Dia memberi contoh pada pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo yang kini sedang dibangun pemerintah. Bandara tersebut dekat dengan patahan yang berada di Laut Selatan Jawa sehingga berpotensi menghadapi gempa dan tsunami. Pembangunan tetap bisa dilaksanakan sepanjang menyiapkan mitigasi risiko jika gempa dan tsunami terjadi.
"Jadi bangunannya harus ramah tsunami. Misalnya, orientasi bangunannya akan mengalirkan gelombang sehingga tetap aman," katanya.
Dia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.
Ditanya soal berapa jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru menyatakan, pada garis patahan seperti yang ada di Palu-Koro, Sulawesi Tengah, jelas tidak bisa dimanfatkan untuk bangunan. Namun banyak pendapat pakar terkait jarak dari garis patahan yang masuk wilayah aman (buffer zone).
Dia mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika Serikat, bangun bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan. Namun dia mengingatkan, bangunan yang dibangun tetap harus memenuhi kualifikasi ketahanan gempa.
Sukamandaru juga mengingatkan, selain ketahan gempa, yang juga harus dipersiapkan dalam mitigasi bencana geologis adalah manusia yang hidup dan bekerja di wilayah tersebut. Untuk itu, pengetahuan mitigasi bencana harus terus menerus disampaikan. "Manusianya juga harus disadarkan kalau hidup dan bekerja di daerah rawan gempa dan tsunami. Jadi kalau ada gejala atau peringatan dari pemerintah, sudah siap," pungkasnya.