Diplomasi yang lebih kuat dan aktif sangat menentukan peran Indonesia dalam pergaulan global. Sebaliknya, diplomasi yang lemah akan membuat posisi Indonesia tidak diperhitungkan.
Kasus diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia adalah contoh menarik pentingnya diplomasi berkelanjutan.
Direktur Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian A Ruddyard menyatakan bahwa budidaya dan pengolahan minyak kelapa sawit dapat digunakan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Tahun depan kita ingin tonjolkan sektor kelapa sawit bisa menjadi cara untuk mencapai SDGs. Kita akan coba susun pedomannya,” kata Febrian dalam temu media di Jakarta, Senin (16/12).
Pedoman minyak kelapa sawit yang sedang disusun Indonesia di bawah kerangka Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), akan menyoroti peran industri minyak kelapa sawit dari sisi pencapaian SDGs.
Pada saat bersamaan, pemerintah Indonesia mengedepankan pentingnya sertifikasi, baik menurut standardisasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dapat menunjukkan bahwa industri minyak kelapa sawit dikelola secara berkelanjutan, demikian uraian Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayakaan Intelektual Kemlu Hari Prabowo.
\"Yang ingin kita lakukan adalah untuk meningkatkan profil dan penerimaan pihak-pihak internasional atas sertifikat minyak sawit kita,\" kata Hari.
Kedua sertifikat tersebut akan secara objektif menelaah CPO dari berbagi aspek SDGs, termasuk aspek pengurangan tingkat kemiskinan serta mengatasi ketimpangan dan ketidaksetaraan.
\"Jika dilihat dari faktor pengentasan kemiskinan, minyak sawit Indonesia dapat digolongkan berkelanjutan karena pekerja industri sawit sendiri merupakan para petani kecil,\" urainya.
Selain itu, Hari menyebut bahwa Indonesia mendorong agar minyak nabati lain mendapatkan sertifikasi resmi agar dapat secara adil dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Saat ini dari semua jenis minyak nabati yang ada, baru minyak kelapa sawit yang memiliki sertifikasi.
Untuk itu, pada 2020, Indonesia akan mengampanyekan agar semua minyak nabati, seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari, memiliki standar sertifikat yang selaras dengan SDGs.
\"Jika negara-negara di dunia dan masyarakat internasional benar-benar berkomitmen memajukan SDGs dan agenda pro-lingkungan, maka seharusnya konsep ini bisa diterima. Dengan demikian kita bisa membandingkan CPO secara adil dengan produk minyak nabati lainnya,” tutur Hari.[R]
" itemprop="description"/>Diplomasi yang lebih kuat dan aktif sangat menentukan peran Indonesia dalam pergaulan global. Sebaliknya, diplomasi yang lemah akan membuat posisi Indonesia tidak diperhitungkan.
Kasus diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia adalah contoh menarik pentingnya diplomasi berkelanjutan.
Direktur Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian A Ruddyard menyatakan bahwa budidaya dan pengolahan minyak kelapa sawit dapat digunakan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Tahun depan kita ingin tonjolkan sektor kelapa sawit bisa menjadi cara untuk mencapai SDGs. Kita akan coba susun pedomannya,” kata Febrian dalam temu media di Jakarta, Senin (16/12).
Pedoman minyak kelapa sawit yang sedang disusun Indonesia di bawah kerangka Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), akan menyoroti peran industri minyak kelapa sawit dari sisi pencapaian SDGs.
Pada saat bersamaan, pemerintah Indonesia mengedepankan pentingnya sertifikasi, baik menurut standardisasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dapat menunjukkan bahwa industri minyak kelapa sawit dikelola secara berkelanjutan, demikian uraian Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayakaan Intelektual Kemlu Hari Prabowo.
\"Yang ingin kita lakukan adalah untuk meningkatkan profil dan penerimaan pihak-pihak internasional atas sertifikat minyak sawit kita,\" kata Hari.
Kedua sertifikat tersebut akan secara objektif menelaah CPO dari berbagi aspek SDGs, termasuk aspek pengurangan tingkat kemiskinan serta mengatasi ketimpangan dan ketidaksetaraan.
\"Jika dilihat dari faktor pengentasan kemiskinan, minyak sawit Indonesia dapat digolongkan berkelanjutan karena pekerja industri sawit sendiri merupakan para petani kecil,\" urainya.
Selain itu, Hari menyebut bahwa Indonesia mendorong agar minyak nabati lain mendapatkan sertifikasi resmi agar dapat secara adil dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Saat ini dari semua jenis minyak nabati yang ada, baru minyak kelapa sawit yang memiliki sertifikasi.
Untuk itu, pada 2020, Indonesia akan mengampanyekan agar semua minyak nabati, seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari, memiliki standar sertifikat yang selaras dengan SDGs.
\"Jika negara-negara di dunia dan masyarakat internasional benar-benar berkomitmen memajukan SDGs dan agenda pro-lingkungan, maka seharusnya konsep ini bisa diterima. Dengan demikian kita bisa membandingkan CPO secara adil dengan produk minyak nabati lainnya,” tutur Hari.[R]
"/>Diplomasi yang lebih kuat dan aktif sangat menentukan peran Indonesia dalam pergaulan global. Sebaliknya, diplomasi yang lemah akan membuat posisi Indonesia tidak diperhitungkan.
Kasus diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia adalah contoh menarik pentingnya diplomasi berkelanjutan.
Direktur Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian A Ruddyard menyatakan bahwa budidaya dan pengolahan minyak kelapa sawit dapat digunakan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Tahun depan kita ingin tonjolkan sektor kelapa sawit bisa menjadi cara untuk mencapai SDGs. Kita akan coba susun pedomannya,” kata Febrian dalam temu media di Jakarta, Senin (16/12).
Pedoman minyak kelapa sawit yang sedang disusun Indonesia di bawah kerangka Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), akan menyoroti peran industri minyak kelapa sawit dari sisi pencapaian SDGs.
Pada saat bersamaan, pemerintah Indonesia mengedepankan pentingnya sertifikasi, baik menurut standardisasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dapat menunjukkan bahwa industri minyak kelapa sawit dikelola secara berkelanjutan, demikian uraian Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayakaan Intelektual Kemlu Hari Prabowo.
\"Yang ingin kita lakukan adalah untuk meningkatkan profil dan penerimaan pihak-pihak internasional atas sertifikat minyak sawit kita,\" kata Hari.
Kedua sertifikat tersebut akan secara objektif menelaah CPO dari berbagi aspek SDGs, termasuk aspek pengurangan tingkat kemiskinan serta mengatasi ketimpangan dan ketidaksetaraan.
\"Jika dilihat dari faktor pengentasan kemiskinan, minyak sawit Indonesia dapat digolongkan berkelanjutan karena pekerja industri sawit sendiri merupakan para petani kecil,\" urainya.
Selain itu, Hari menyebut bahwa Indonesia mendorong agar minyak nabati lain mendapatkan sertifikasi resmi agar dapat secara adil dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Saat ini dari semua jenis minyak nabati yang ada, baru minyak kelapa sawit yang memiliki sertifikasi.
Untuk itu, pada 2020, Indonesia akan mengampanyekan agar semua minyak nabati, seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari, memiliki standar sertifikat yang selaras dengan SDGs.
\"Jika negara-negara di dunia dan masyarakat internasional benar-benar berkomitmen memajukan SDGs dan agenda pro-lingkungan, maka seharusnya konsep ini bisa diterima. Dengan demikian kita bisa membandingkan CPO secara adil dengan produk minyak nabati lainnya,” tutur Hari.[R]
"/>