Hai, lupakan semua kecewamu tapi jangan sekali-sekali kau lupakan tanah asalmu. Begitulah, setelah drama di Café Juma, perjalanan yang tertunda kita lanjutkan dengan beberapa rekomendasi yang harus cepat digerakkan. Hari ketiga, kami bersepakat untuk bergerak menuju Tongging; jalanan yang meliuk-liuk seperti naga tepat di bawah kaki gunung Sipiso-piso yang langsung menghadap Danau Toba. Perbatasan dua kawasan yang banyak melahirkan kisah-kisah purba; Geopark Kaldera Toba dan Karo Vulkano Park.
Tongging menjadi sentral fokus dalam Film Perik Sidua-dua. Pemilihan judul dan lokasi yang akan berdampak pada penggalian lebih detail tentang perjalanan letusan demi letusan gunung api yang menyebabkan perubahan peta peradaban di dunia. Dari tikungan jalan, kita bisa melihat bangkit dan hancurnya sebuah peradaban. Dari sebuah desa kecil di kaki gunung, ada kisah maha dahsyat yang tak mungkin dilupakan seluruh manusia di jagad raya ini. Dari air terjun di celah sempit Sipiso-piso, satu sumber pemasok volume air untuk keberlangsungan Danau Toba. Miris, Tongging nyaris terpinggirkan dari dinamika cerita ini. Itu terlihat dari tata ruang dan pengelolaan titik ekowisata yang semestinya mendunia tapi pada kenyataannya sangat minim dengan infrastruktur yang mendukung.
Menuliskan bagian catatan perjalanan ini, aku seperti memasuki daerah perbatasan yang begitu kaya sumber daya alamnya namun diabaikan pemerintahnya, tak mengurus secara maksimal. Tahun 2015 aku ke Tongging, tak ada perubahan yang signifikan dan menarik di penghujung 2022 ini. Hanya air terjun Sipiso-piso yang dapat dijadikan pembeda.
Bentang geopanorama bila dilihat dari gardu pandang Tongging yang dikelola Benson Adi Saputra Kaban berbentuk kubah lava membeku dan akhirnya mengeras sekeras-kerasnya. Kondisi alam ternyata mempengaruhi karakter orang yang tumbuh berkembang di atasnya; keras, pantang menyerah, suka membuat terobosan dan berani di depan. Karakter ini juga yang dimunculkan oleh Jilena dalam Perik Sidua-dua. Ia tak mau menyerah dengan posisi gendernya, batinnya terpanggil untuk membuat sesuatu yang signifikan di kampung halaman. Kesadarannya tak kuasa menghadapi kenyataan; geopanorama yang begitu dahsyat berbanding terbalik dengan orang-orang yang hidup di dalamnya, kumuh tanpa sentuhan seni.
Kita bisa melihat sepanjang perjalanan dari Tiga Panah menuju Merek, kebun jeruk di kanan kiri. Memasuki areal Tongging, mangga menguning siap dinikmati. Ini bisa dikembangkan jadi wisata buah, bukan jeruk dan mangga saja, dapat ditambah jenis budidaya hortikultura lainnya. Kawasan ini sudah memenuhi banyak persayaratan menjadi ekowisata kelas dunia; dari sumber daya manusia hingga potensi seni budayanya. Hal yang belum bisa dilihat cara pengelolaan kawasan menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Begitu minimnya atau bahkan tidak ada sebuah upaya yang berkelanjutan dan desain pembangunan yang memperhitungkan potensi sumber daya alam.
Kita tidak bisa menunggu, harus dikejar bola itu. Bila tidak dilakukan segera, pasti akan semakin jauh kita tertinggal. Itu yang muncul dalam benakku melihat Benson nekad memproduksi Film Layar Lebar Perik Sidua-dua. Ada cita-cita dahsyat untuk menyeimbangkan kemegahan geopanorama titik batas Geopark Kaldera Toba dengan Karo Vulkano Park dengan gairah masyarakat di dalamnya untuk terus menselaraskan potensi alam dengan potensi diri mereka. Cara paling jitu di era digitalisasi informasi lewat jalur multimedia dan lebih mengerucut memproduksi film yang mampu mengeksplorasi kedahsyatan panorama yang dibentuk sekitar 500.000 tahun lalu.
Dari gardu pandang Tongging, aku merekonstruksi peristiwa demi peristiwa yang menyusup dalam imajinasiku; air terjun Sipiso-piso yang terus menerjunkan airnya dari ketinggian 120 meter di antara tebing-tebing batu yang terjal, dinding-dinding kaldera Silahisabungan, panorama Danau Toba seperti lukisan terindah. Pasti ada kekuatan dahsyat yang membentuk tekstur gunung dan tebing seindah ini. Pembentukan kawasan ini semestinya menghasilkan banyak narasi dan cerita-cerita untuk dikisahkan berabad-abad ke depannya.
Bila kita hidup di 500.000 tahun lalu, air terjun Sipiso-piso itu sebagai apa? Lalu gardu pandang Tongging ini apakah digunakan juga untuk menjual pecal seperti yang dilakukan Benson? Ah, aku jadi teringat Benson menelepon seseorang untuk menyiapkan hidangan arsik. Banyak keramba di pinggir dermaga. Begitulah masyarakat memanfaatkan Danau Toba untuk menciptakan ekosistem kehidupannya. Sederhana dan beresiko bagi masa depan air bila penganan ikan dalam keramba disusupi zat-zat yang mereduksi kejernihan Danau Toba, ditambah lagi plastik sampah menumpuk di beberapa titik dermaga.
Waktu tak pernah bergerak terbalik, ia berputar dari kanan ke kiri. Kita yang harus bergerak maju dengan tetap membawa kenangan-kenangan yang lalu agar dapat mengikuti dinamika waktu. Di ketinggian 1947 mdpl kita tetaplah kecil, tapi bukan berarti kita tak bisa membesarkan kemegahan panorama yang sulit sekali terulang kembali dalam kisah-kisah besar super volcano. Film Perik Sidua-dua bila hanya Benson saja yang bercita-cita tanpa dukungan jaringan kerja yang besar akan seperti mencangkul lahan semeter di puncak Sipiso-piso. Tongging, yang berada di tepat di perbatasan dua taman pegunungan vulkanik termegah semestinya dikelola oleh orang-orang bervisi besar yang mampu menangkap sinyal-sinyal kisah peradaban ratusan ribu tahun silam.
Waktu juga tak pernah berhenti. Tapi kenapa kita sulit berubah dan tak berani menjadi pengubah? Aku akan meninggalkan dermaga Tongging, Kapal Jurung-Jurung sudah pergi mengarungi luasnya Danau Toba. Sepanjang pendengaran, seluas pandangan aku mendengar bunyi yang menertawai; sudah 500.000 tahun geopanorama ini tercipta, tapi kita terlena hingga bergerak terbalik tak sesuai putaran waktu. Film Layar Lebar Perik Sidua-dua akankah menjadi energi yang dapat menciptakan terobosan di dinding-dinding kaldera?
Kunikmati pecal di gardu pandang Tongging, resep mutkahir Darwin Ginting. Sekepal bumbu yang dapat memanaskan gagasan. Berani coba?
(Bersambung ke bagian 6)
Sebundel Catatan Tim Artistik, Tour The Karo Vulkano Park, 26-30 Desember 2022, Produksi Film Layar Lebar Perik Sidua-dua [Inseparable Souls In Tongging] ditulis Pimpinan Teater Rumah Mata
© Copyright 2024, All Rights Reserved