Orang-orang Karo itu pedagang, pembuka lahan, pengembara dan selalu membawa kampung halaman di dalam jiwanya. Begitulah bila kita melihat jauh ke belakang tentang berkomunalnya para pendatang dari wilayah pesisir ke dataran tinggi. Mereka terbiasa hilir mudik, naik turun dari pesisir ke pegunungan kemudian kembali lagi dan menyebar ke berbagai kawasan.
Pergerakan mereka melalui sungai-sungai yang berhulu di pegunungan dan berhilir di wilayah pesisir. Hal itu dilakukan secara turun temurun. Makanya jangan heran bila kita melihat idiom-idiom karo bertaburan dari ujung pesisir hingga puncak pegunungan di wilayah Sumatera. Idiom-idiom itu juga dapat kita lihat di beberapa kafe yang tersebar di Kota Medan, salah satunya Melam Cofffee & Resto. Namun Melam Coffee tidak berada di pinggiran sungai, dengan berkembangnya infrastruktur transportasi orang-orang Karo turun ke bawah melalu jalur darat.
Mari kita masuk ke Melam Coffee & Resto yang berada di Pasar Baru, Padang Bulan Medan. Ketika tiba di depan gerbangnya pada malam Natal itu aku melihat miniatur ornamen atap rumah adat Karo. Aku langsung membayangkan bahwa ada sesuatu yang menegaskan atmosfer hulu di kafe itu untuk merasakan detak energi Karo. Itu bayanganku!
Pada bagian luar kafe terdapat lukisan mural lelaki dan perempuan Karo, besar terukir di dinding kafe. Dan yang paling mencolok dan menarik perhatian adalah lukisan mural Gunung Sinabung. Lalu apakah dengan adanya lukisan mural dan miniatur ornamen itu menegaskan Kafe yang kental berkarakter Karo atau itu hanya hiasan pemanis menandakan sang pemilik adalah orang Karo? Dukungan elemen-elemen lain di kafe itu masih lemah untuk menegaskan eksistensi Karo, semisal tata artistik, penataan ruang dan elemen-elemen pendukung lain.
Gelombang modernitas dan gaya milenial yang tervisual di kafe tersebut jadi semacam noise menenggelamkan keberadaan idiom-idiom Karo yang dihadirkan. Kecurigaanku kafe ini dibentuk ‘senano-nano’ begini untuk menegaskan masyarakat karo yang berdiaspora di kota-kota atau sebagai strategi pasar menarik konsumen berbagai etnis. Lalu bagaimana kita benar-benar merasakan Melam untuk mengantarkan imajinasi kita berselancar ke pegunungan?
Aku bertemu dengan Benson Adi Saputra kaban dan Darwin Ginting. Maka dimulailah perbincangan yang memikat dan membuatku terlupa dengan tanda tanya tentang makna Melam. Benson mengenalkan Darwin Ginting sebagai tokoh pemandu wisata ekologi yang mampu mengubah Batu Katak menjadi ikon ekowisata di Bahorok. Di sela perbincangan itu kami menikmati menu-menu yang tersaji di Melam Coffee & Resto. Sekali lagi aku belum menemukan kuliner yang membawa imajinasiku berada di Gunung Sinabung. Menu yang tersaji masih umum seperti kafe-kafe lainnya. Aku berandai-andai di sini ada Gerai Kuliner Khas Karo yang bersanding dengan menu lainnya. Di gerai kuliner khas Karo itu dapat disajikan cimpa unung-unung, arsik nurung mas, gule kuta-kuta, cincang bohan, berbagai jenis minuman rempah.
Begitulah, Melam Coffee & Resto akan menjadi titik keberangkatan Tour The Karo Vulkano Park dan ke depannya diproyeksikan sebagai pemilik ‘peta’ perjalanan wisata Karo Vulkano Park. Maka harus ada yang dibenahi dan di upgrade dalam tata kelolanya. Semisal panggung pertunjukan yang backgroundnya adalah Gunung Sinabung. Di atas panggung itu tertata peralatan musik barat seperti keyboard dan lainnya. Ini sah saja, namun akan lebih memikat bila diimbangi dengan alat musik khas Karo, misalnya kulcapi, keteng-keteng, surdam, genggong, gendang singanaki, sarune, gendang singindungi, penganak, gung, balobat.
Malam itu, 25 Desember 2022, tamu yang kami nantikan akhirnya datang juga. Sebelumnya owner Melam Coffee & Resto, Hera Beru Sebayang bergabung Bersama kami lalu disusul Iwa Brahmana dan Bery Pana Sitepu. Suasana semakin ramai, berbicara tentang Karo dan Film Perik Sidua-dua. Kami menantinya seperti ingin menyambut artis papan atas. Tamu itu adalah orang Karo yang berdiaspora di Belanda. Dia Max van Huis, dipanggil Karindo. Bapak Belanda, ibu Karo. Dia adalah calon pemeran Max dalam Film Layar Lebar Perik Sidua-dua’’.
Darwin Ginting yang memiliki pengalaman belasan tahun menjadi pemandu wisata menjadi ujung tombak kami menjalin komunikasi dengan bule Karindo. Malam itu suasana hangat dan ceria, dijamu dengan berbagai jenis makanan dan minuman oleh kak Hera Beru Sebayang. Sementara aku terus memperhatikan dan coba merasakan pesona Gunung Sinabung di Melam Coffee & Resto ini.
Aku ingin menyerap sebanyak-banyaknya eksotisme Karo sembari membaca setiap gerak Karindo; baik itu gaya bicara, tatapan, cara menggerakkan tangan, melangkah, gerakan-gerakan kecil lainnya serta bagaimana ia menikmati suasana malam itu, apakah tulus atau berpura-pura. Hal ini sangat penting bagiku mengetahui lebih detail tentang karakter asli Karindo untuk melihat kemampuan dan keberaniannya beradaptasi dengan sistem sosial dan letak geografis tanah Karo.
Di sela-sela perbincangan itu; Darwin Ginting, Bery Pana Sitepu dan Iwa Brahmana memperbincangkan berbagai folklore tanah Karo. Salah satu yang memikatku, karena ini senafas dengan Perik Sidua-dua yaitu kisah terjadinya pohon Aren. Folklore ini mengisahkan tentang kasih sayang dan perngobanan seorang adik kepada kakaknya. Orang-orang Karo terkenal dengan kelembutannya, kasih sayang, rela berkorban, ramah dan kesetiaan. Mungkin itu pengaruh pegunungan yang mengkondisikan penghuninya untuk saling bahu membahu dan bergotong royong, seperti spirit Film Layar Lebar Perik Sidua-dua.
Pandanganku terus tersedot ke lukisan mural Gunung Sinabung yang meninggalkan jejak erupsi. Ada apa dengan gunung ini? Mengapa gunung ini masuk dalam rantai Karo Vulkano Park? Setelah beberapa informasi aku kumpulkan, ternyata gunung ini pernah Meletus 1.200 tahun silam dan erupsi yang terjadi sejak 27 Agustus 2010 lalu sama persis dengan karakter letusan pada masa itu. Selain Sinabung ada 5 gunung lagi yang pernah Meletus, yaitu Pintau, Sibayak, Barus, Sibuaten dan Sipiso-piso. Bila gunung-gunung ini memiliki sirkulasi letusan berarti di dalam tanah Karo ada sumber magma yang bertumbuh kembang dan menyala.
Bagaimanakah jejeran pegunungan yang melingkar sebagai Karo Vulkano Park ini membentuk sistem kehidupan dan karakter masyarakat Karo? Mataku tak bisa kualihkan dari bule Karindo dan lukisan mural Gunung Sinabung itu. Ada bunyi bebatuan yang berdentang denting di kepalaku di antara angin pegunungan yang membuai imajinasiku mengembara ke lembah-lembah. Di Melam Coffee & Resto aku merasakan suasana kontradiktif yang melebur, menciptakan irama sendiri antara kearifan leluhur yang mentradisi dan desah kota memecah.
Di titik keberangkatan ini, memoriku Kembali menjelajah tikungan, tanjakan, turunan melengkung serta liukan perjalanan menuju dataran tinggi yang berlapis-lapis di Karo. Kembali kusaksikan orang-orang berkomunal dari pesisir bergerak ke pegunungan membangun kuta-kuta.
Masihkah hulu menyimpan air?
Bersambung....
Sebundel Catatan Tim Artistik Tour The Karo Vulkano Park 26-30 Desember 2022, Produksi Film Layar Lebar Perik Sidua-dua (Inseparable Souls In Tongging) ditulis oleh pemimpin teater rumah mata
© Copyright 2024, All Rights Reserved