Pernyataan orang nomor 1 di Sumut ini mengingatkan saya ketika mengikuti Program S-3 Universitas Negeri Malang (2005) ada dua pokok bahasan yang bertautan dengan sikap kejujuran Pak ER ini, yaitu (1) kepemimpinan situasional dan (2) kepemimpinan transformasional vs transaksional. Berikut ini, kedua teori kepemimpinan itu dibicarakan secara singkat.
Kepemimpinan Situasional Model kepemimpinan situasional yang dikembangkan Paul Hersey (1970-an) ini berfokus pada orang-orang yang dipimpin. Artinya, pemimpin perlu menyesuaikan gaya kepemimpinannya seturut dengan kesiapan para pengikutnya. Ada empat kategori sifat/perilaku orang yang dipimpin. Pertama, orang yang tidak mampu dan tidak mau. Menghadapi orang yang memiliki karakter seperti ini diperlukan sikap tegas (perintah) namun bijak dari seorang pemimpin. Bersamaan dengan ketegasan, pemimpin juga perlu memberi dorongan untuk meningkatkan kompetensi. Pemimpin selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung.
Kedua, orang yang mampu tapi tidak mau. Apabila sikap seperti ini ditemukan dalam kehidupan masyarakat, seorang pemimpin perlu mengajaknya untuk berkolaborasi. Diperluka pujian atas kompetensi yang dimiliki sekaligus dorongan atau semangat menerapkan dalam pekerjaannya. Kata guru saya, \"diperlukan teknik rayuan pulau kelapa\".
Ketiga, orang yang tidak mampu tetapi mau. Seorang pemimpin perlu mengarahkan-melatih. Masyarakat yang memiliki sifat seperti ini akan mudah dibimbing namun perlu diberi pelatihan secara berkelanjutan.
Keempat adalah orang yang mampu dan mau. Seorang pemimpin perlu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berekspresi. Masyarakat yang telah memiliki sikap ini tentu akan sangat membantu pemimpin dalam mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan. Pendelegasian kewenangan menjadi kunci bertahannya sikap seperti ini dalam diri masyarakat.
Dari keempat karakter para pengikut dan gaya yang perlu ditampikan oleh pemimpin, tidak ada yang bisa disebut optimal diterapkan. Seorang pemimpin yang efektif butuh fleksibitas, dan harus beradaptasi pada setiap situasi. Kepemimpinan Transformasional Konsep kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978). Untuk memahami model kepemimpinan ini, Burns membedakannya dengan kepemimpinan transaksional. Menurutnya, pemimpin transaksional memiliki pertukaran hubungan dengan pengikut mereka. Pertukaran ini bisa berupa finansial, psikologis atau politik, dan uang yang dengan produktivitas, pujian untuk kesetiaan, atau janji untuk penilaian. Itulah sebabnya Burn berpendapat bahwa untuk mencapai perubahan diperlukan model lain yang lebih baik. Model itulah yang disebunya dengan kepemimpinan transformasional. Jadi, esensi kepemimpinan transformasional terletak pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang tranformasionan wajib melibatkan pengikut, memberikan inspirasi bagi para pengikutnya, serta berkomitmen untuik mewujudkan visi bersama dan tujuan bagi suatu organisasi. Selain itu pemimpin perlu menantang para pengikutnya untuk menjadi pemecah masalah yang inovatif dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan melalui pelatihan, pendampingan, dengan berbagai tantangan dan dukungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya ada empat hal yang perlu dikembangkan (baca: ditampilkan) oleh pemimpin transformasional. Pertama, pengaruh idealis, yaitu berperilaku dengan cara mempengaruhi pengikut mereka sehingga dikagumi, dihormati, dan dapat dipercaya. Singkatnya, pemimpin harus memiliki banyak pengaruh ideal adalah bersedia untuk mengambil risiko dan konsisten dan tidak sewenang-wenang. Pemimpin dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar , menunjukkan standar perilaku etika dan moral.
Kedua, pemimpin transformasional berperilaku dengan cara memberikan motivasi dan menginspirasi orang-orang di sekitar mereka dengan memberikan arti dan tantangan untuk bekerja. Semangat tim terangsang, antusiasme dan optimisme akan ditampilkan. Sehingga, pemimpin mendapatkan pengikut yang aktif terlibat dengan pola komunikasi yang intens serta menunjukkan komitmen terhadap tujuan dan visi bersama.
Ketiga, pemimpin transformasional mendorong upaya pengikut mereka untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, reframing masalah, dan mendekati situasi lama dengan cara baru. Ide-ide baru dan solusi masalah secara kreatif dikumpulkan dari pengikut, termasuk dalam proses mengatasi masalah dan menemukan solusi. Pengikut didorong untuk mencoba pendekatan baru, dan ide-ide mereka tidak dikritik karena mereka berbeda dari ide-ide para pemimpin.
Keempat, pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan masing-masing pengikut individu untuk pencapaian dan pertumbuhan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor. Pengikut dan rekan yang potensial dikembangkan pada tingkat yang lebih tinggi. Perilaku pemimpin menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan individu. Mengeksekusi Visi-Misi Wilayah Provinsi Sumut yang dihuni oleh beragam suku/etnis, agama, budaya, dan status sosial bukanlah hal baru bagi Pak ER. Diyakini bahwa sifat dan karakter masyarakat Sumut telah dipahami secara komprehensif. Demikian juga pengalaman Pak ER dalam bidang kemiliteran dengan asas kepemimpinan TNI (taqwa, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, waspada purba wisesa, ambeg parama arta, prasaja, satya, gemi nastiti, belaka, dan legawa) telah menjadi menu sehari-hari. Tentu saja jika dipadukan dengan model kepemimpinan situasional dan transformasional (seperti uraian di atas), Pak ER akan lebih mudah mengekesekusi visi-misi yang telah diaktualkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sumut.
Lalu, apa pesan yang ingin disampaikan oleh Pak ER dengan keinginan mundur dari jabatan gubernur apabila masyarakat Sumut tidak mau dipimpin? Cukup banyak makna di balik pernyataan jujur Pak ER. Namun, dalam tulisan ini ada dua hal penting yang patut disikapi positif oleh masyarakat Sumut. Pertama, Pak ER dan wakilnya MR memberi sinyal kembali bahwa mereka berdua sungguh- sungguh membangun Sumut yang bermartabat. Oleh karena itu, semua masyarakat Sumut terutama Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bahu-membahu (kolaborasi) mewujudkan Sumut yang bebas dari korupsi (dengan berbagai sebutan), kolusi, dan nepotisme sekaligus memberi pelayanan prima kepada setiap masyarakat.
Diyakini bahwa orang nomor 1 ini berkehendak menghapus stigma singkat Sumut (Semua Urusan Mesti Uang Tunai) menjadi Sumut bermartabat (salah satunya: Semua Urusan Mesti Ukhuwah yang Tulus). Kedua, masyarakat Sumut perlu mengapresiasi niat tulus Pak ER/MR mengabdikan dirinya memberdayakan masyarakat dengan menanggalkan jabatan prestisius di TNI. Sinergitas seluruh komponen masyarakat sebuah keniscayaan dalam membangun Sumut. Sekat-sekat seperti perbedaan etnis, keyakinan, pilihan politik, sosial-ekonomi, dan budaya wajib dibongkar. Masyarakat Sumut perlu larut dalam mimpi yang sama dengan Pak ER/MR. Hanya dengan kepemilikan sikap kebersamaan, Sumut menjadi yang terdepan.
Mudah-mudahan pernyataan Pak ER hanya sebatas joke. Juga sebagai pemacu dan pemicu kreativitas masyarakat membangun Sumut yang bermartabat. Semoga tidak ada kaitannya dengan ungkapan Jawa, ajining diri ono lathi (harga diri seseorang ada pada ucapannya) dan ungkapan bijak lainnya, kata-katamu adalah doamu.***
Penulis Adalah Dosen Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I dipekerjakan pada Universitas Prima Indonesia " itemprop="description"/>
Pernyataan orang nomor 1 di Sumut ini mengingatkan saya ketika mengikuti Program S-3 Universitas Negeri Malang (2005) ada dua pokok bahasan yang bertautan dengan sikap kejujuran Pak ER ini, yaitu (1) kepemimpinan situasional dan (2) kepemimpinan transformasional vs transaksional. Berikut ini, kedua teori kepemimpinan itu dibicarakan secara singkat.
Kepemimpinan Situasional Model kepemimpinan situasional yang dikembangkan Paul Hersey (1970-an) ini berfokus pada orang-orang yang dipimpin. Artinya, pemimpin perlu menyesuaikan gaya kepemimpinannya seturut dengan kesiapan para pengikutnya. Ada empat kategori sifat/perilaku orang yang dipimpin. Pertama, orang yang tidak mampu dan tidak mau. Menghadapi orang yang memiliki karakter seperti ini diperlukan sikap tegas (perintah) namun bijak dari seorang pemimpin. Bersamaan dengan ketegasan, pemimpin juga perlu memberi dorongan untuk meningkatkan kompetensi. Pemimpin selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung.
Kedua, orang yang mampu tapi tidak mau. Apabila sikap seperti ini ditemukan dalam kehidupan masyarakat, seorang pemimpin perlu mengajaknya untuk berkolaborasi. Diperluka pujian atas kompetensi yang dimiliki sekaligus dorongan atau semangat menerapkan dalam pekerjaannya. Kata guru saya, \"diperlukan teknik rayuan pulau kelapa\".
Ketiga, orang yang tidak mampu tetapi mau. Seorang pemimpin perlu mengarahkan-melatih. Masyarakat yang memiliki sifat seperti ini akan mudah dibimbing namun perlu diberi pelatihan secara berkelanjutan.
Keempat adalah orang yang mampu dan mau. Seorang pemimpin perlu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berekspresi. Masyarakat yang telah memiliki sikap ini tentu akan sangat membantu pemimpin dalam mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan. Pendelegasian kewenangan menjadi kunci bertahannya sikap seperti ini dalam diri masyarakat.
Dari keempat karakter para pengikut dan gaya yang perlu ditampikan oleh pemimpin, tidak ada yang bisa disebut optimal diterapkan. Seorang pemimpin yang efektif butuh fleksibitas, dan harus beradaptasi pada setiap situasi. Kepemimpinan Transformasional Konsep kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978). Untuk memahami model kepemimpinan ini, Burns membedakannya dengan kepemimpinan transaksional. Menurutnya, pemimpin transaksional memiliki pertukaran hubungan dengan pengikut mereka. Pertukaran ini bisa berupa finansial, psikologis atau politik, dan uang yang dengan produktivitas, pujian untuk kesetiaan, atau janji untuk penilaian. Itulah sebabnya Burn berpendapat bahwa untuk mencapai perubahan diperlukan model lain yang lebih baik. Model itulah yang disebunya dengan kepemimpinan transformasional. Jadi, esensi kepemimpinan transformasional terletak pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang tranformasionan wajib melibatkan pengikut, memberikan inspirasi bagi para pengikutnya, serta berkomitmen untuik mewujudkan visi bersama dan tujuan bagi suatu organisasi. Selain itu pemimpin perlu menantang para pengikutnya untuk menjadi pemecah masalah yang inovatif dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan melalui pelatihan, pendampingan, dengan berbagai tantangan dan dukungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya ada empat hal yang perlu dikembangkan (baca: ditampilkan) oleh pemimpin transformasional. Pertama, pengaruh idealis, yaitu berperilaku dengan cara mempengaruhi pengikut mereka sehingga dikagumi, dihormati, dan dapat dipercaya. Singkatnya, pemimpin harus memiliki banyak pengaruh ideal adalah bersedia untuk mengambil risiko dan konsisten dan tidak sewenang-wenang. Pemimpin dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar , menunjukkan standar perilaku etika dan moral.
Kedua, pemimpin transformasional berperilaku dengan cara memberikan motivasi dan menginspirasi orang-orang di sekitar mereka dengan memberikan arti dan tantangan untuk bekerja. Semangat tim terangsang, antusiasme dan optimisme akan ditampilkan. Sehingga, pemimpin mendapatkan pengikut yang aktif terlibat dengan pola komunikasi yang intens serta menunjukkan komitmen terhadap tujuan dan visi bersama.
Ketiga, pemimpin transformasional mendorong upaya pengikut mereka untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, reframing masalah, dan mendekati situasi lama dengan cara baru. Ide-ide baru dan solusi masalah secara kreatif dikumpulkan dari pengikut, termasuk dalam proses mengatasi masalah dan menemukan solusi. Pengikut didorong untuk mencoba pendekatan baru, dan ide-ide mereka tidak dikritik karena mereka berbeda dari ide-ide para pemimpin.
Keempat, pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan masing-masing pengikut individu untuk pencapaian dan pertumbuhan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor. Pengikut dan rekan yang potensial dikembangkan pada tingkat yang lebih tinggi. Perilaku pemimpin menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan individu. Mengeksekusi Visi-Misi Wilayah Provinsi Sumut yang dihuni oleh beragam suku/etnis, agama, budaya, dan status sosial bukanlah hal baru bagi Pak ER. Diyakini bahwa sifat dan karakter masyarakat Sumut telah dipahami secara komprehensif. Demikian juga pengalaman Pak ER dalam bidang kemiliteran dengan asas kepemimpinan TNI (taqwa, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, waspada purba wisesa, ambeg parama arta, prasaja, satya, gemi nastiti, belaka, dan legawa) telah menjadi menu sehari-hari. Tentu saja jika dipadukan dengan model kepemimpinan situasional dan transformasional (seperti uraian di atas), Pak ER akan lebih mudah mengekesekusi visi-misi yang telah diaktualkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sumut.
Lalu, apa pesan yang ingin disampaikan oleh Pak ER dengan keinginan mundur dari jabatan gubernur apabila masyarakat Sumut tidak mau dipimpin? Cukup banyak makna di balik pernyataan jujur Pak ER. Namun, dalam tulisan ini ada dua hal penting yang patut disikapi positif oleh masyarakat Sumut. Pertama, Pak ER dan wakilnya MR memberi sinyal kembali bahwa mereka berdua sungguh- sungguh membangun Sumut yang bermartabat. Oleh karena itu, semua masyarakat Sumut terutama Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bahu-membahu (kolaborasi) mewujudkan Sumut yang bebas dari korupsi (dengan berbagai sebutan), kolusi, dan nepotisme sekaligus memberi pelayanan prima kepada setiap masyarakat.
Diyakini bahwa orang nomor 1 ini berkehendak menghapus stigma singkat Sumut (Semua Urusan Mesti Uang Tunai) menjadi Sumut bermartabat (salah satunya: Semua Urusan Mesti Ukhuwah yang Tulus). Kedua, masyarakat Sumut perlu mengapresiasi niat tulus Pak ER/MR mengabdikan dirinya memberdayakan masyarakat dengan menanggalkan jabatan prestisius di TNI. Sinergitas seluruh komponen masyarakat sebuah keniscayaan dalam membangun Sumut. Sekat-sekat seperti perbedaan etnis, keyakinan, pilihan politik, sosial-ekonomi, dan budaya wajib dibongkar. Masyarakat Sumut perlu larut dalam mimpi yang sama dengan Pak ER/MR. Hanya dengan kepemilikan sikap kebersamaan, Sumut menjadi yang terdepan.
Mudah-mudahan pernyataan Pak ER hanya sebatas joke. Juga sebagai pemacu dan pemicu kreativitas masyarakat membangun Sumut yang bermartabat. Semoga tidak ada kaitannya dengan ungkapan Jawa, ajining diri ono lathi (harga diri seseorang ada pada ucapannya) dan ungkapan bijak lainnya, kata-katamu adalah doamu.***
Penulis Adalah Dosen Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I dipekerjakan pada Universitas Prima Indonesia "/>
Pernyataan orang nomor 1 di Sumut ini mengingatkan saya ketika mengikuti Program S-3 Universitas Negeri Malang (2005) ada dua pokok bahasan yang bertautan dengan sikap kejujuran Pak ER ini, yaitu (1) kepemimpinan situasional dan (2) kepemimpinan transformasional vs transaksional. Berikut ini, kedua teori kepemimpinan itu dibicarakan secara singkat.
Kepemimpinan Situasional Model kepemimpinan situasional yang dikembangkan Paul Hersey (1970-an) ini berfokus pada orang-orang yang dipimpin. Artinya, pemimpin perlu menyesuaikan gaya kepemimpinannya seturut dengan kesiapan para pengikutnya. Ada empat kategori sifat/perilaku orang yang dipimpin. Pertama, orang yang tidak mampu dan tidak mau. Menghadapi orang yang memiliki karakter seperti ini diperlukan sikap tegas (perintah) namun bijak dari seorang pemimpin. Bersamaan dengan ketegasan, pemimpin juga perlu memberi dorongan untuk meningkatkan kompetensi. Pemimpin selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung.
Kedua, orang yang mampu tapi tidak mau. Apabila sikap seperti ini ditemukan dalam kehidupan masyarakat, seorang pemimpin perlu mengajaknya untuk berkolaborasi. Diperluka pujian atas kompetensi yang dimiliki sekaligus dorongan atau semangat menerapkan dalam pekerjaannya. Kata guru saya, \"diperlukan teknik rayuan pulau kelapa\".
Ketiga, orang yang tidak mampu tetapi mau. Seorang pemimpin perlu mengarahkan-melatih. Masyarakat yang memiliki sifat seperti ini akan mudah dibimbing namun perlu diberi pelatihan secara berkelanjutan.
Keempat adalah orang yang mampu dan mau. Seorang pemimpin perlu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berekspresi. Masyarakat yang telah memiliki sikap ini tentu akan sangat membantu pemimpin dalam mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan. Pendelegasian kewenangan menjadi kunci bertahannya sikap seperti ini dalam diri masyarakat.
Dari keempat karakter para pengikut dan gaya yang perlu ditampikan oleh pemimpin, tidak ada yang bisa disebut optimal diterapkan. Seorang pemimpin yang efektif butuh fleksibitas, dan harus beradaptasi pada setiap situasi. Kepemimpinan Transformasional Konsep kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978). Untuk memahami model kepemimpinan ini, Burns membedakannya dengan kepemimpinan transaksional. Menurutnya, pemimpin transaksional memiliki pertukaran hubungan dengan pengikut mereka. Pertukaran ini bisa berupa finansial, psikologis atau politik, dan uang yang dengan produktivitas, pujian untuk kesetiaan, atau janji untuk penilaian. Itulah sebabnya Burn berpendapat bahwa untuk mencapai perubahan diperlukan model lain yang lebih baik. Model itulah yang disebunya dengan kepemimpinan transformasional. Jadi, esensi kepemimpinan transformasional terletak pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang tranformasionan wajib melibatkan pengikut, memberikan inspirasi bagi para pengikutnya, serta berkomitmen untuik mewujudkan visi bersama dan tujuan bagi suatu organisasi. Selain itu pemimpin perlu menantang para pengikutnya untuk menjadi pemecah masalah yang inovatif dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan melalui pelatihan, pendampingan, dengan berbagai tantangan dan dukungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya ada empat hal yang perlu dikembangkan (baca: ditampilkan) oleh pemimpin transformasional. Pertama, pengaruh idealis, yaitu berperilaku dengan cara mempengaruhi pengikut mereka sehingga dikagumi, dihormati, dan dapat dipercaya. Singkatnya, pemimpin harus memiliki banyak pengaruh ideal adalah bersedia untuk mengambil risiko dan konsisten dan tidak sewenang-wenang. Pemimpin dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar , menunjukkan standar perilaku etika dan moral.
Kedua, pemimpin transformasional berperilaku dengan cara memberikan motivasi dan menginspirasi orang-orang di sekitar mereka dengan memberikan arti dan tantangan untuk bekerja. Semangat tim terangsang, antusiasme dan optimisme akan ditampilkan. Sehingga, pemimpin mendapatkan pengikut yang aktif terlibat dengan pola komunikasi yang intens serta menunjukkan komitmen terhadap tujuan dan visi bersama.
Ketiga, pemimpin transformasional mendorong upaya pengikut mereka untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, reframing masalah, dan mendekati situasi lama dengan cara baru. Ide-ide baru dan solusi masalah secara kreatif dikumpulkan dari pengikut, termasuk dalam proses mengatasi masalah dan menemukan solusi. Pengikut didorong untuk mencoba pendekatan baru, dan ide-ide mereka tidak dikritik karena mereka berbeda dari ide-ide para pemimpin.
Keempat, pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan masing-masing pengikut individu untuk pencapaian dan pertumbuhan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor. Pengikut dan rekan yang potensial dikembangkan pada tingkat yang lebih tinggi. Perilaku pemimpin menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan individu. Mengeksekusi Visi-Misi Wilayah Provinsi Sumut yang dihuni oleh beragam suku/etnis, agama, budaya, dan status sosial bukanlah hal baru bagi Pak ER. Diyakini bahwa sifat dan karakter masyarakat Sumut telah dipahami secara komprehensif. Demikian juga pengalaman Pak ER dalam bidang kemiliteran dengan asas kepemimpinan TNI (taqwa, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, waspada purba wisesa, ambeg parama arta, prasaja, satya, gemi nastiti, belaka, dan legawa) telah menjadi menu sehari-hari. Tentu saja jika dipadukan dengan model kepemimpinan situasional dan transformasional (seperti uraian di atas), Pak ER akan lebih mudah mengekesekusi visi-misi yang telah diaktualkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sumut.
Lalu, apa pesan yang ingin disampaikan oleh Pak ER dengan keinginan mundur dari jabatan gubernur apabila masyarakat Sumut tidak mau dipimpin? Cukup banyak makna di balik pernyataan jujur Pak ER. Namun, dalam tulisan ini ada dua hal penting yang patut disikapi positif oleh masyarakat Sumut. Pertama, Pak ER dan wakilnya MR memberi sinyal kembali bahwa mereka berdua sungguh- sungguh membangun Sumut yang bermartabat. Oleh karena itu, semua masyarakat Sumut terutama Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bahu-membahu (kolaborasi) mewujudkan Sumut yang bebas dari korupsi (dengan berbagai sebutan), kolusi, dan nepotisme sekaligus memberi pelayanan prima kepada setiap masyarakat.
Diyakini bahwa orang nomor 1 ini berkehendak menghapus stigma singkat Sumut (Semua Urusan Mesti Uang Tunai) menjadi Sumut bermartabat (salah satunya: Semua Urusan Mesti Ukhuwah yang Tulus). Kedua, masyarakat Sumut perlu mengapresiasi niat tulus Pak ER/MR mengabdikan dirinya memberdayakan masyarakat dengan menanggalkan jabatan prestisius di TNI. Sinergitas seluruh komponen masyarakat sebuah keniscayaan dalam membangun Sumut. Sekat-sekat seperti perbedaan etnis, keyakinan, pilihan politik, sosial-ekonomi, dan budaya wajib dibongkar. Masyarakat Sumut perlu larut dalam mimpi yang sama dengan Pak ER/MR. Hanya dengan kepemilikan sikap kebersamaan, Sumut menjadi yang terdepan.
Mudah-mudahan pernyataan Pak ER hanya sebatas joke. Juga sebagai pemacu dan pemicu kreativitas masyarakat membangun Sumut yang bermartabat. Semoga tidak ada kaitannya dengan ungkapan Jawa, ajining diri ono lathi (harga diri seseorang ada pada ucapannya) dan ungkapan bijak lainnya, kata-katamu adalah doamu.***
Penulis Adalah Dosen Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I dipekerjakan pada Universitas Prima Indonesia "/>
PADA saat meresmikan Kantor PWI Sumatera Utara, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi (selanjutnya: ER) melontarkan sebuah pernyataan yang cukup menarik untuk didialogkan. Salah satu pernyataan gubernur pilihan masyarakat Sumut ini di depan para wartawan/jurnalis adalah, "saya cek 4 bulan ke depan, rakyat Sumut ini tidak mau saya pimpin saya yang mundur." Salah satu alasan beliau adalah, "seorang pemimpin akan memiliki arti jika masyarakat mau dipimpin. Kalau sekarang saya pemimpin yang dipimpin tak mau, untuk apa saya jadi pemimpin? (sumber: www. rmolsumut.com, 28/4/2019).
Pernyataan orang nomor 1 di Sumut ini mengingatkan saya ketika mengikuti Program S-3 Universitas Negeri Malang (2005) ada dua pokok bahasan yang bertautan dengan sikap kejujuran Pak ER ini, yaitu (1) kepemimpinan situasional dan (2) kepemimpinan transformasional vs transaksional. Berikut ini, kedua teori kepemimpinan itu dibicarakan secara singkat.
Kepemimpinan Situasional Model kepemimpinan situasional yang dikembangkan Paul Hersey (1970-an) ini berfokus pada orang-orang yang dipimpin. Artinya, pemimpin perlu menyesuaikan gaya kepemimpinannya seturut dengan kesiapan para pengikutnya. Ada empat kategori sifat/perilaku orang yang dipimpin. Pertama, orang yang tidak mampu dan tidak mau. Menghadapi orang yang memiliki karakter seperti ini diperlukan sikap tegas (perintah) namun bijak dari seorang pemimpin. Bersamaan dengan ketegasan, pemimpin juga perlu memberi dorongan untuk meningkatkan kompetensi. Pemimpin selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung.
Kedua, orang yang mampu tapi tidak mau. Apabila sikap seperti ini ditemukan dalam kehidupan masyarakat, seorang pemimpin perlu mengajaknya untuk berkolaborasi. Diperluka pujian atas kompetensi yang dimiliki sekaligus dorongan atau semangat menerapkan dalam pekerjaannya. Kata guru saya, "diperlukan teknik rayuan pulau kelapa".
Ketiga, orang yang tidak mampu tetapi mau. Seorang pemimpin perlu mengarahkan-melatih. Masyarakat yang memiliki sifat seperti ini akan mudah dibimbing namun perlu diberi pelatihan secara berkelanjutan.
Keempat adalah orang yang mampu dan mau. Seorang pemimpin perlu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berekspresi. Masyarakat yang telah memiliki sikap ini tentu akan sangat membantu pemimpin dalam mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan. Pendelegasian kewenangan menjadi kunci bertahannya sikap seperti ini dalam diri masyarakat.
Dari keempat karakter para pengikut dan gaya yang perlu ditampikan oleh pemimpin, tidak ada yang bisa disebut optimal diterapkan. Seorang pemimpin yang efektif butuh fleksibitas, dan harus beradaptasi pada setiap situasi. Kepemimpinan Transformasional Konsep kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978). Untuk memahami model kepemimpinan ini, Burns membedakannya dengan kepemimpinan transaksional. Menurutnya, pemimpin transaksional memiliki pertukaran hubungan dengan pengikut mereka. Pertukaran ini bisa berupa finansial, psikologis atau politik, dan uang yang dengan produktivitas, pujian untuk kesetiaan, atau janji untuk penilaian. Itulah sebabnya Burn berpendapat bahwa untuk mencapai perubahan diperlukan model lain yang lebih baik. Model itulah yang disebunya dengan kepemimpinan transformasional. Jadi, esensi kepemimpinan transformasional terletak pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang tranformasionan wajib melibatkan pengikut, memberikan inspirasi bagi para pengikutnya, serta berkomitmen untuik mewujudkan visi bersama dan tujuan bagi suatu organisasi. Selain itu pemimpin perlu menantang para pengikutnya untuk menjadi pemecah masalah yang inovatif dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan melalui pelatihan, pendampingan, dengan berbagai tantangan dan dukungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya ada empat hal yang perlu dikembangkan (baca: ditampilkan) oleh pemimpin transformasional. Pertama, pengaruh idealis, yaitu berperilaku dengan cara mempengaruhi pengikut mereka sehingga dikagumi, dihormati, dan dapat dipercaya. Singkatnya, pemimpin harus memiliki banyak pengaruh ideal adalah bersedia untuk mengambil risiko dan konsisten dan tidak sewenang-wenang. Pemimpin dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar , menunjukkan standar perilaku etika dan moral.
Kedua, pemimpin transformasional berperilaku dengan cara memberikan motivasi dan menginspirasi orang-orang di sekitar mereka dengan memberikan arti dan tantangan untuk bekerja. Semangat tim terangsang, antusiasme dan optimisme akan ditampilkan. Sehingga, pemimpin mendapatkan pengikut yang aktif terlibat dengan pola komunikasi yang intens serta menunjukkan komitmen terhadap tujuan dan visi bersama.
Ketiga, pemimpin transformasional mendorong upaya pengikut mereka untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, reframing masalah, dan mendekati situasi lama dengan cara baru. Ide-ide baru dan solusi masalah secara kreatif dikumpulkan dari pengikut, termasuk dalam proses mengatasi masalah dan menemukan solusi. Pengikut didorong untuk mencoba pendekatan baru, dan ide-ide mereka tidak dikritik karena mereka berbeda dari ide-ide para pemimpin.
Keempat, pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan masing-masing pengikut individu untuk pencapaian dan pertumbuhan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor. Pengikut dan rekan yang potensial dikembangkan pada tingkat yang lebih tinggi. Perilaku pemimpin menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan individu. Mengeksekusi Visi-Misi Wilayah Provinsi Sumut yang dihuni oleh beragam suku/etnis, agama, budaya, dan status sosial bukanlah hal baru bagi Pak ER. Diyakini bahwa sifat dan karakter masyarakat Sumut telah dipahami secara komprehensif. Demikian juga pengalaman Pak ER dalam bidang kemiliteran dengan asas kepemimpinan TNI (taqwa, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, waspada purba wisesa, ambeg parama arta, prasaja, satya, gemi nastiti, belaka, dan legawa) telah menjadi menu sehari-hari. Tentu saja jika dipadukan dengan model kepemimpinan situasional dan transformasional (seperti uraian di atas), Pak ER akan lebih mudah mengekesekusi visi-misi yang telah diaktualkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sumut.
Lalu, apa pesan yang ingin disampaikan oleh Pak ER dengan keinginan mundur dari jabatan gubernur apabila masyarakat Sumut tidak mau dipimpin? Cukup banyak makna di balik pernyataan jujur Pak ER. Namun, dalam tulisan ini ada dua hal penting yang patut disikapi positif oleh masyarakat Sumut. Pertama, Pak ER dan wakilnya MR memberi sinyal kembali bahwa mereka berdua sungguh- sungguh membangun Sumut yang bermartabat. Oleh karena itu, semua masyarakat Sumut terutama Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bahu-membahu (kolaborasi) mewujudkan Sumut yang bebas dari korupsi (dengan berbagai sebutan), kolusi, dan nepotisme sekaligus memberi pelayanan prima kepada setiap masyarakat.
Diyakini bahwa orang nomor 1 ini berkehendak menghapus stigma singkat Sumut (Semua Urusan Mesti Uang Tunai) menjadi Sumut bermartabat (salah satunya: Semua Urusan Mesti Ukhuwah yang Tulus). Kedua, masyarakat Sumut perlu mengapresiasi niat tulus Pak ER/MR mengabdikan dirinya memberdayakan masyarakat dengan menanggalkan jabatan prestisius di TNI. Sinergitas seluruh komponen masyarakat sebuah keniscayaan dalam membangun Sumut. Sekat-sekat seperti perbedaan etnis, keyakinan, pilihan politik, sosial-ekonomi, dan budaya wajib dibongkar. Masyarakat Sumut perlu larut dalam mimpi yang sama dengan Pak ER/MR. Hanya dengan kepemilikan sikap kebersamaan, Sumut menjadi yang terdepan.
Mudah-mudahan pernyataan Pak ER hanya sebatas joke. Juga sebagai pemacu dan pemicu kreativitas masyarakat membangun Sumut yang bermartabat. Semoga tidak ada kaitannya dengan ungkapan Jawa, ajining diri ono lathi (harga diri seseorang ada pada ucapannya) dan ungkapan bijak lainnya, kata-katamu adalah doamu.***
Penulis Adalah Dosen Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I dipekerjakan pada Universitas Prima Indonesia
PADA saat meresmikan Kantor PWI Sumatera Utara, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi (selanjutnya: ER) melontarkan sebuah pernyataan yang cukup menarik untuk didialogkan. Salah satu pernyataan gubernur pilihan masyarakat Sumut ini di depan para wartawan/jurnalis adalah, "saya cek 4 bulan ke depan, rakyat Sumut ini tidak mau saya pimpin saya yang mundur." Salah satu alasan beliau adalah, "seorang pemimpin akan memiliki arti jika masyarakat mau dipimpin. Kalau sekarang saya pemimpin yang dipimpin tak mau, untuk apa saya jadi pemimpin? (sumber: www. rmolsumut.com, 28/4/2019).
Pernyataan orang nomor 1 di Sumut ini mengingatkan saya ketika mengikuti Program S-3 Universitas Negeri Malang (2005) ada dua pokok bahasan yang bertautan dengan sikap kejujuran Pak ER ini, yaitu (1) kepemimpinan situasional dan (2) kepemimpinan transformasional vs transaksional. Berikut ini, kedua teori kepemimpinan itu dibicarakan secara singkat.
Kepemimpinan Situasional Model kepemimpinan situasional yang dikembangkan Paul Hersey (1970-an) ini berfokus pada orang-orang yang dipimpin. Artinya, pemimpin perlu menyesuaikan gaya kepemimpinannya seturut dengan kesiapan para pengikutnya. Ada empat kategori sifat/perilaku orang yang dipimpin. Pertama, orang yang tidak mampu dan tidak mau. Menghadapi orang yang memiliki karakter seperti ini diperlukan sikap tegas (perintah) namun bijak dari seorang pemimpin. Bersamaan dengan ketegasan, pemimpin juga perlu memberi dorongan untuk meningkatkan kompetensi. Pemimpin selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung.
Kedua, orang yang mampu tapi tidak mau. Apabila sikap seperti ini ditemukan dalam kehidupan masyarakat, seorang pemimpin perlu mengajaknya untuk berkolaborasi. Diperluka pujian atas kompetensi yang dimiliki sekaligus dorongan atau semangat menerapkan dalam pekerjaannya. Kata guru saya, "diperlukan teknik rayuan pulau kelapa".
Ketiga, orang yang tidak mampu tetapi mau. Seorang pemimpin perlu mengarahkan-melatih. Masyarakat yang memiliki sifat seperti ini akan mudah dibimbing namun perlu diberi pelatihan secara berkelanjutan.
Keempat adalah orang yang mampu dan mau. Seorang pemimpin perlu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berekspresi. Masyarakat yang telah memiliki sikap ini tentu akan sangat membantu pemimpin dalam mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan. Pendelegasian kewenangan menjadi kunci bertahannya sikap seperti ini dalam diri masyarakat.
Dari keempat karakter para pengikut dan gaya yang perlu ditampikan oleh pemimpin, tidak ada yang bisa disebut optimal diterapkan. Seorang pemimpin yang efektif butuh fleksibitas, dan harus beradaptasi pada setiap situasi. Kepemimpinan Transformasional Konsep kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978). Untuk memahami model kepemimpinan ini, Burns membedakannya dengan kepemimpinan transaksional. Menurutnya, pemimpin transaksional memiliki pertukaran hubungan dengan pengikut mereka. Pertukaran ini bisa berupa finansial, psikologis atau politik, dan uang yang dengan produktivitas, pujian untuk kesetiaan, atau janji untuk penilaian. Itulah sebabnya Burn berpendapat bahwa untuk mencapai perubahan diperlukan model lain yang lebih baik. Model itulah yang disebunya dengan kepemimpinan transformasional. Jadi, esensi kepemimpinan transformasional terletak pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang tranformasionan wajib melibatkan pengikut, memberikan inspirasi bagi para pengikutnya, serta berkomitmen untuik mewujudkan visi bersama dan tujuan bagi suatu organisasi. Selain itu pemimpin perlu menantang para pengikutnya untuk menjadi pemecah masalah yang inovatif dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan melalui pelatihan, pendampingan, dengan berbagai tantangan dan dukungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya ada empat hal yang perlu dikembangkan (baca: ditampilkan) oleh pemimpin transformasional. Pertama, pengaruh idealis, yaitu berperilaku dengan cara mempengaruhi pengikut mereka sehingga dikagumi, dihormati, dan dapat dipercaya. Singkatnya, pemimpin harus memiliki banyak pengaruh ideal adalah bersedia untuk mengambil risiko dan konsisten dan tidak sewenang-wenang. Pemimpin dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar , menunjukkan standar perilaku etika dan moral.
Kedua, pemimpin transformasional berperilaku dengan cara memberikan motivasi dan menginspirasi orang-orang di sekitar mereka dengan memberikan arti dan tantangan untuk bekerja. Semangat tim terangsang, antusiasme dan optimisme akan ditampilkan. Sehingga, pemimpin mendapatkan pengikut yang aktif terlibat dengan pola komunikasi yang intens serta menunjukkan komitmen terhadap tujuan dan visi bersama.
Ketiga, pemimpin transformasional mendorong upaya pengikut mereka untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, reframing masalah, dan mendekati situasi lama dengan cara baru. Ide-ide baru dan solusi masalah secara kreatif dikumpulkan dari pengikut, termasuk dalam proses mengatasi masalah dan menemukan solusi. Pengikut didorong untuk mencoba pendekatan baru, dan ide-ide mereka tidak dikritik karena mereka berbeda dari ide-ide para pemimpin.
Keempat, pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan masing-masing pengikut individu untuk pencapaian dan pertumbuhan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor. Pengikut dan rekan yang potensial dikembangkan pada tingkat yang lebih tinggi. Perilaku pemimpin menunjukkan penerimaan terhadap perbedaan individu. Mengeksekusi Visi-Misi Wilayah Provinsi Sumut yang dihuni oleh beragam suku/etnis, agama, budaya, dan status sosial bukanlah hal baru bagi Pak ER. Diyakini bahwa sifat dan karakter masyarakat Sumut telah dipahami secara komprehensif. Demikian juga pengalaman Pak ER dalam bidang kemiliteran dengan asas kepemimpinan TNI (taqwa, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, waspada purba wisesa, ambeg parama arta, prasaja, satya, gemi nastiti, belaka, dan legawa) telah menjadi menu sehari-hari. Tentu saja jika dipadukan dengan model kepemimpinan situasional dan transformasional (seperti uraian di atas), Pak ER akan lebih mudah mengekesekusi visi-misi yang telah diaktualkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Sumut.
Lalu, apa pesan yang ingin disampaikan oleh Pak ER dengan keinginan mundur dari jabatan gubernur apabila masyarakat Sumut tidak mau dipimpin? Cukup banyak makna di balik pernyataan jujur Pak ER. Namun, dalam tulisan ini ada dua hal penting yang patut disikapi positif oleh masyarakat Sumut. Pertama, Pak ER dan wakilnya MR memberi sinyal kembali bahwa mereka berdua sungguh- sungguh membangun Sumut yang bermartabat. Oleh karena itu, semua masyarakat Sumut terutama Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bahu-membahu (kolaborasi) mewujudkan Sumut yang bebas dari korupsi (dengan berbagai sebutan), kolusi, dan nepotisme sekaligus memberi pelayanan prima kepada setiap masyarakat.
Diyakini bahwa orang nomor 1 ini berkehendak menghapus stigma singkat Sumut (Semua Urusan Mesti Uang Tunai) menjadi Sumut bermartabat (salah satunya: Semua Urusan Mesti Ukhuwah yang Tulus). Kedua, masyarakat Sumut perlu mengapresiasi niat tulus Pak ER/MR mengabdikan dirinya memberdayakan masyarakat dengan menanggalkan jabatan prestisius di TNI. Sinergitas seluruh komponen masyarakat sebuah keniscayaan dalam membangun Sumut. Sekat-sekat seperti perbedaan etnis, keyakinan, pilihan politik, sosial-ekonomi, dan budaya wajib dibongkar. Masyarakat Sumut perlu larut dalam mimpi yang sama dengan Pak ER/MR. Hanya dengan kepemilikan sikap kebersamaan, Sumut menjadi yang terdepan.
Mudah-mudahan pernyataan Pak ER hanya sebatas joke. Juga sebagai pemacu dan pemicu kreativitas masyarakat membangun Sumut yang bermartabat. Semoga tidak ada kaitannya dengan ungkapan Jawa, ajining diri ono lathi (harga diri seseorang ada pada ucapannya) dan ungkapan bijak lainnya, kata-katamu adalah doamu.***
Penulis Adalah Dosen Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I dipekerjakan pada Universitas Prima Indonesia