Dari sekian banyak jenis korupsi yang menggerogoti bangsa dan umat ini, korupsi ilmu adalah yang paling parah. Al-Attas telah menggambarkan terjadinya korupsi ilmu ketika kepemimpinan yang berbasis ilmu diberikan kepada seseorang yang kualitas intelektual, moral, dan spiritualnya rendah, sehingga tidak bisa menilai orang lain berdasarkan kredibilitas, melainkan hanya pada loyalitas (Aidulsyah, 2013). Gambaran korupsi ilmu ini diperkuat dengan hadis riwayat Muslim, “Bahwa Allah swt. tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan” (Husaini, 2015).
Di Indonesia, gambaran korupsi ilmu ini agaknya harus diperluas dan dihubungkan dengan korupsi umum. Ada yang menggambarkan bahwa korupsi adalah penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pihak swasta (Morris, 1991). Lebih spesifik lagi, ada yang menggambarkan bahwa korupsi adalah tindakan (a) pihak pemilik otoritas (b) yang memberikan secara rahasia (c) barang atau jasa kepada pihak lain (c) sehingga pihak pemberi dapat melaksanakan tindakan yang (d) menguntungkan pihaknya atau pihak ketiga atau kedua-duanya (Senior, 2006). Di dunia pendidikan tinggi ‘umum’, korupsi seperti ini menjadi sangat jelas beberapa tahun lalu dengan tertangkapnya Angelina Sondakh antara lain karena perannya sebagai makelar anggaran proyek perguruan tinggi, termasuk di Universitas Sumatera Utara. Tidak tanggung-tanggung, menurut laporan berita, setidaknya 16 profesor terlibat dalam kasus korupsi Sondakh (Jayapos, 2012).
Tentunya korupsi ilmu di dunia pendidikan tinggi ini tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan para mafia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mensinyalir bahwa para mafia ini dapat berasal dari dalam perguruan tinggi sendiri, terutama para Rektor dan Wakil Rektornya, elite politik dan pejabat pemerintah di pusat maupun daerah, serta pihak swasta. Setidaknya ada 12 pola korupsi yang dipraktekkan para mafia ini: 1) pengadaan barang dan jasa; 2) dana penelitian; 3) dana beasiswa mahasiswa, 4) “jual beli” nilai, 5) penerimaan mahasiswa baru dan 6) akreditasi; 7) pemilihan pejabat; 8) gratifikasi mahasiswa terhadap dosen; 9) dana hibah atau CSR; 10) anggaran perguruan tinggi; 11) penjualan aset perguruan tinggi; dan 12) Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa. Di Sumatera Utara, pola-pola yang lazim dipraktekkan para mafia ini adalah: 1) korupsi dana praktikum; 2) korupsi dana mobil dinas; 3) korupsi sumbangan orang ketiga; 4) komersialisasi jabatan; 5) “karbit” doktor.
Dalam makalahnya berjudul ‘Neoliberalisme dan Kebijakan Pendidikan Tinggi di Indonesia’, Andrew Rosser (2015) mengemukakan bahwa dunia pendidikan tinggi Indonesia dihuni oleh para predator politik, militer, birokrat, dan swasta yang siap ‘memangsa’ para pimpinan kampus yang kalau tidak lugu, ternyata ikut mengorbankan para sivitas akademika kampus dan pemangku kepentingan lainnya, yaitu rakyat. Kebutuhan untuk meningkatkan daya saing di tengah gencarnya globalisasi menambah permintaan akan pendidikan tinggi bermutu yang seolah-olah terhambat oleh keterbatasan dana pemerintah. Apalagi peningkatan mutu selalu diterjemahkan sebagai penambahan dan penyempurnaan sarana dan prasarana kampus. Perguruan tinggi lalu dipaksa atau terpaksa mencari dana mandiri yang sering berbentuk sayap usaha atau pencarian dana pihak ketiga. Sayangnya sampai sekarang dana-dana mandiri ini belum jelas mekanisme pengumpulan, pendistribusian, dan pengawasannya (Ramadhan, 2016).
Pada aspek dana mandiri ini, ada dua kasus umum korupsi yang bisa disebut. Kasus pertama adalah dana yang dipungut dari sivitas akademika, terutama mahasiswa. Benarkah landasan hukum pemungutannya? Tepat sasarankah peruntukan dan penggunaannya? Kalau untuk pembangunan, seberapa besar manfaatnya? Adakah dana yang tersisa? Kasus kedua adalah dana dari pihak ketiga, terutama yang berasal dari individu. Dari manakah dana pihak ketiga tersebut berasal? Kalau dari usaha, apakah usahanya telah mempunyai izin dan membayar pajak? Bagaimana dengan rekam jejak dan reputasinya di tengah masyarakat? Apakah ada masalah hukum dan etika? Dari kedua kasus ini, proses audit dana mandiri menjadi penting. Para pemangku kepentingan kampus, termasuk masyarakat daerah dan rakyat Indonesia, harus bisa meminta laporan pertanggungjawaban pimpinan kampus atas semua aspek keuangan, terutama yang bersifat dana mandiri. Kalau tidak, dana ini rentan menjadi bancakan para mafia pendidikan tinggi, sehingga muncullah suatu hari gelar ‘profesor koruptor’.
Untuk membangun perguruan tinggi tanpa keterlibatan mafia sebenarnya tidak sulit. Banyak sekali contoh pada zaman ini di negara-negara yang perguruan tingginya maju, atau pada zaman lalu di masa-masa kegemilangan Islam. Pada zaman lalu konsepnya adalah wakaf, sedangkan pada zaman sekarang ‘grant’. Ada kesamaan dalam kedua konsep ini, namun yang lebih sesuai untuk menghindarkan mafia dalam konteks Indonesia sepertinya adalah konsep ‘grant’ (hibah) dari pemerintah dalam bentuk ‘land’ (tanah), ‘sea’ (laut) dan ‘space’ (angkasa). Contohnya universitas negeri terkaya di Amerika Serikat, Texas A&M University at College Station, didanai dari tiga hibah ini sekaligus (Martin, 2016). Universitas ini diberikan tanah, laut, dan angkasa oleh pemerintah untuk dikelola dan diteliti sehingga terhasil dana mandiri yang dapat menopang pengelolaan kampus tanpa keterlibatan para mafia yang seolah-olah pemurah, namun sebenarnya sedang melakukan pencucian uang yang seolah-olah dapat menghapuskan dosa. Na’uzubillah min zalik.***
Penulis adalah penggagas ‘Intelektual Independen Indonesia’ dan anggota sivitas akademika UINSU
© Copyright 2024, All Rights Reserved