Tidak lama lagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu 2024.
Verifikasi ini tidak terlepas dari munculnya berbagai partai politik baru yang ingin meramaikan kontestasi politik 5 tahunan. Artinya dibutuhkan sebuah penelusuran mengenai ‘keabsahan’ administrasi maupun faktual masing-masing parpol untuk ditetapkan apakah layak atau tidak ikut dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan tersebut.
“Untuk saat ini kita belum tau berapa partai politik di Sumatera Utara yang akan kita verifikasi, nanti kita menunggu data dari pusat yang tentu akan mendapatkan datanya dari Kemenkumham selaku kementerian yang menerima pendaftaran dan meng-SK kan partai politik mereka,” kata salah seorang komisioner KPU Sumut dalam perbincangan santai kemarin.
Kita kesampingkanlah dulu jumlah partai baru termasuk nama partainya. Yang menarik adalah bahwa munculnya partai baru tersebut biasanya tidak lepas dari adanya perpecahan antara sesama kader dalam partai politik.
Pada tataran inilah, judul yang saya buat diatas menjadi hal yang mengemuka. Perpecahan biasanya akan diikuti dengan munculnya istilah kaum loyalis dan kaum pragmatis.
“Tapi itu kan hanya bahasa yang didasarkan pada perasaan atau secara teori saja. Dalam praktek lebih mudah memahaminya jika disebut dengan istilah penjilat dan pengkhianat,” kata pengamat politik dari UNIMED Dr Bakhrul Khair Amal kepada saya beberapa waktu lalu.
Kami tertawa renyah begitu dua istilah itu diungkapkannya.
Meski tawa kami begitu renyah, tapi sesungguhnya istilah itu merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam dinamika dalam partai politik. Kontestasi antar kader untuk menjadi sosok superior pasti berjalan bersisian dengan dua istilah itu.
Lantas haruskah ada pembersihan salah satu kaum? ya perlu dalam rangka melanggengkan superioritas begitu kata pengamat politik dari USU bang Agus Suryadi yang juga kerap menyampaikan analisis politiknya kepada saya.
Berbeda dengan bang Bakhrul, menurutnya pembersihan ini tak perlu. Cukup diselesaikan dengan cara elegan, misalnya dengan menempatkan mereka pada posisi non pengambil kebijakan. Sebab, kalau pun dibersihkan total, maka kedepannya tetap saja akan muncul kubu loyalis ‘penjilat dan kubu pragmatis ‘pengkhianat’. Jadi usaha yang sia-sia dan menambahi kerjaan toh.
“Jadi biarlah dua kaum ini tetap bersisian sebagai bagian dari menjaga rivalitas. Karena rivalitas tetap dibutuhkan untuk menjaga ritme semangat untuk mencapai tujuan,” ungkap Bakhrul.
Saya tak menyimpulkan apa-apa soal analisis keduanya. Namun menurut saya, kaum loyalis vs pragmatis atau yang lebih mudah dipahami kaum penjilat vs pengkhianat memang akan tetap berjalan bersisian.***
© Copyright 2024, All Rights Reserved