Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman mengenai dugaan penyimpangan prosedur dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN.
Surat keberatan ini menurut Pelaksana Tugas (Plt) Jurubicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri sudah mereka kirimkan ke Ombudsman pagi tadi, Jumat (6/8/2021).
surat yang berisi 13 poin keberatan telah dikirim ke Ombudsman RI, Jumat pagi (6/8).
"Pagi ini surat keberatan KPK atas LAHP sudah diserahkan kepada Ombudsman RI. Ada 13 poin," ujar Ali kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat siang (6/8).
Sebelumnya pada Kamis petang (5/8), Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron telah menyatakan bahwa KPK keberatan atas LAHP Ombudsman.
Ghufron membeberkan ada 13 poin keberatan yang dikirimkan kepada Ombudsman.
Pertama kata Ghufron, pokok perkara yang diperiksa Ombudsman merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Perkom KPK nomor 1/2020 yang merupakan kompetensi absolute Mahkamah Agung (MA) dan saat ini sedang dalam proses pemeriksaan.
Kedua, Ombudsman melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan.
Ketiga, legal standing pelapor bukan masyarakat penerima layanan publik KPK sebagai pihak yang berhak melapor dalam pemeriksaan Ombudsman.
"Keempat, pokok perkara pembuatan peraturan alih status pegawai KPK, pelaksanaan TWK dan penetapan hasil TWK yang diperiksa oleh Ombudsman RI bukan perkara pelayanan publik," kata Ghufron kepada wartawan saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kavling 4, Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis petang (5/8).
Kelima, pendapat Ombudsman yang menyatakan ada penyisipan materi TWK dalam tahapan pembentukan kebijakan tidak didasarkan bahkan bertentangan dengan dokumen, keterangan saksi, dan pendapat ahli dalam LHAP.
Keenam, pendapat Ombudsman yang menyatakan "pelaksanaan rapat harmonisasi tersebut dihadiri pimpinan Kementerian/Lembaga yang seharusnya dikoordinasikan dan dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan". Penyalahgunaan wewenang terjadi dalam penandatangan Berita Acara Pengharmonisasian yang dilakukan oleh pihak yang tidak hadir pada rapat harmonisasi tersebut.
"Ketujuh, fakta hukum Rapat Koordinasi Harmonisasi yang dihadiri atasannya yang dinyatakan sebagai maladministrasi, dilakukan juga oleh Ombudsman RI dalam pemeriksaan," jelas Ghufron.
Kedelapan, pendapat Ombudsman yang menyatakan KPK tidak melakukan penyebarluasan informasi Rancangan Peraturan KPK melalui Portal Internal KPK bertentangan dengan bukti.
Kesembilan, pendapat Ombudsman berkaitan tentang "terdapat Nota Kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN tentang tahapan pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)" tidak relevan karena tidak pernah digunakan dan tidak ada konsekwensi hukumnya dengan keabsahan TWK dan hasilnya.
"Kesepuluh, pendapat Ombudsman Rl yang menyatakan telah terjadi maladministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan Asesmen TWK bertentangan dengan hukum dan bukti," terang Ghufron.
Kesebelas, pendapat Ombudsman yang menyatakan bahwa KPK tidak patut menerbitkan Surat Keputusan Ketua KPK Nomor 652/2021 karena merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN tidak berdasar hukum.
Keduabelas, pendapat Ombudsman berkenaan dengan berita acara tanggal 25 Mei 2021, bahwa Menteri PANRB, Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, lima pimpinan KPK, Ketua KASN dan Kepala LAN telah melakukan pengabaian terhadap pernyataan presiden dan melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang terhadap kepastian status dan hak untuk mendapatkan perlakukan yang adil dalam hubungan kerja, tidak berdasar hukum.
Ketigabelas, tindakan korektif yang direkomendasikan Ombudsman tidak memiliki hubungan sebab akibat (causalitas verband) bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LAHP.
© Copyright 2024, All Rights Reserved