Kebijakan melarang ekspor crude palm oil atau CPO oleh pemerintah, dinilai sungguh menghantam dunia sawit dari luar negeri sampai rakyat pemilik sawit.
Ironinya, harga CPO semakin melonjak di luar negeri, sementara dalam negeri Tandan Buah Sawit (TBS) jatuh ke titik nadir, dan sebagian sudah ditolak pabrik sehingga mulai dibiarkan membusuk di atas pohon.
“Sesudah melewati bulan-bulan penuh drama tentang minyak goreng, sepertinya pemerintah belum mengerti akar permasalahan,” kata Sugianto Makmur, Anggota Komisi B DPRD Sumut, melalui pernyataan tertulisnya, Senin (25/4/2022).
Menururnya, wajar ketika harga minyak goreng naik mengingat harga internasional CPO ikut meroket. Apalagi berdasarkan rumus ekonomi: modal plus keuntungan sama dengan harga jual.
Namun supaya tidak timbul gejolak di masyarakat, menurut Sugianto, pemerintah berusaha agar minyak goreng tetap dijual di harga Rp.14.000/liter. Lalu minyak goreng kemasan dibuatkan Harga Eceran Tertinggi (HET)-nya dan selisih harga ditanggung oleh pemerintah dengan dana yang dikumpulkan lewat Bea Keluar dan Pajak Ekspor.
“Dana ini dikumpulkan di lembaga bernama BPDPKS. Di akhir Februari, subsidi tidak lagi ditanggung pemerintah tetapi HET masih diberlakukan. Di sinilah timbul masalah,” ungkapnya.
Lalu harga CPO yang sudah Rp.19.000-20.000/kg pada saat itu, sambung Sugianto Makmur, mengakibatkan harga keekonomian migor mencapai Rp.22.000-24.000/liter. Pabrikan dipaksa menanggung kerugian Rp.8000-10.000/liter.
“Untuk pabrikan sedang dengan kapasitas 3000 ton, maka paling sedikit mereka menanggung kerugian Rp25 miliar sampai Rp30 miliar. Dua bulan kerugian sama dengan nilai pabriknya,” ujarnya.
Kemudian pada saat itu diberlakukan bersamaan DPO dan DMO. DPO adalah HET sedangkan DMO adalah keharusan menjual 20% dari kapasitas produksi. Misalnya, pabrikan memproduksi 1000 ton, maka sesudah menjual 200 ton di dalam negeri maka diberikan Persetujuan Ekspor oleh Kementerian Perdagangan sebesar 800 ton.
“Timbul masalah di pabrikan yang tidak melakukan ekspor sama sekali. Pabrikan semacam ini tetap diberlakukan keharusan menjual sesuai HET. Pabrikan semacam ini langsung tutup produksi karena tidak tahan menahan kerugian. Di Sumut saja, di awal Maret sudah 3 pabrikan minyak goreng yang tutup total,” terangnya.
Kemendag lantas merevisi kebijakannya. Di mana hanya migor curah yang dikenakan HET. Sedangkan migor kemasan dilepas sesuai harga keekonomian dan pasar. Eksesnya, migor tidak lagi langka namun harganya mahal.
“Bagi masyarakat yang perlu minyak goreng curah mendapat harga yang rendah. Mungkin dalam distribusi masih ada di sana-sini yang bermasalah, tinggal kontrol di Satgas Pangan di daerah masing-masing,” katanya.
Hemat dia lagi, keadaaan sudah cukup terkendali bahkan cukup baik saat ini. Keluhan masyarakat pun sudah mulai mereda. Akan tetapi, tiba-tiba, pemerintah mengumumkan bahwa mulai 28 April 2022, tidak boleh lagi ekspor CPO dan produk turunannya.
“Saya mengerti masalah apa yang terjadi. Uang untuk subsidi sudah tidak ada. Uang subsidi sudah tersedot ke program B30 biosolar. Program nonfaedah yang hanya untuk memuaskan Kementerian ESDM ini dipaksakan untuk dikerjakan,” sindir Sugianto.
Dengan harga CPO saat ini yang mencapai Rp.21.000/kg, lanjutnya, maka harga keekonomian satu liter solar dari CPO adalah Rp.25.000/liter (dengan asumsi satu ton CPO menghasilkan 875 liter solar ditambah ongkos produksi dan biaya lainnya).
“Berarti setiap liter solar yang dijual Rp.5.150 menimbulkan subsidi sebesar Rp.19.850/liternya. Sementara harga minyak bumi USD 80/barrel, berarti satu liter minyak bumi adalah setara Rp7.000/liter. Dengan harga seperti itu, mungkin harga keekonomian solar tanpa campuran Biosolar hanyalah Rp8000. Bila harga minyak mentah USD 100/barrel, harga keekonomian adalah sekitar Rp.10.000/liter,” terangnya.
Di hitungan inilah, sebut Sugianto, kunci permasalahannya. Dana di BPDPKS dipakai untuk subsidi Biosolar. Sementara untuk subsidi hampir Rp.20.000/liter maka dengan sekejap mata saja, uang triliunan akan habis tersedot.
Terlebih di tahun lalu solar subsidi sebesar 15,5 juta kilo liter. Ini setara dengan 15.5 miliar liter. Dengan program B30, 30%-nya berasal dari minyak sawit, berarti 4,65 miliar liter yang setara dengan subsidi Rp. 93.000.000.000.000 (sembilan puluh tiga triliun rupiah) hanya untuk subsidi solar.
“Kalau kita bicara tentang subsidi minyak goreng curah. Kebutuhan sebulan sekitar 200 juta liter per bulan. Harga keekonomian adalah Rp.19.000-20.000/liter. HET ditetapkan Rp. 14.000/liter. Berarti subsidi yang dibutuhkan hanyalah Rp.5000-6000/liter. Sebulan kita butuh dana subsidi 1 triliun rupiah. Setahun hanya butuh 12 triliun rupiah. Itu setara dengan APBD satu provinsi,” jelasnya.
Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal kebijakan melarang ekspor CPO. Pada 2021 misalnya, pemerintah melakukan ekspor CPO 27 juta ton, setara dengan nilai pasar sekarang (dibandingkan dengan data 2020 dan 2021), Rp 630 triliun.
“Dari nilai ekspor tersebut kita bisa mendapatkan Bea Keluar dan Pajak Ekspornya sekitar USD 200 dan USD 375 per ton, maka kita bisa mengumpulkan dana sebesar USD 15.5 milar setara dengan Rp217 triliun,” sebut Sugianto.
Seandainya pengelolaan ekspor CPO ini dikelola dengan baik, imbuhnya, maka anggaran yang ada akan cukup untuk semuanya.
“Katakanlah pemerintah ‘membeli’ minyak goreng dari pabrik dengan harga keekonomian sebesar 20% dari kapasitas produksi, tentu tidak ada masalah gonjang ganjing seperti ini. Tentu untuk menghemat uang, kita hentikan dulu program B30 biosolar kita,” tegas legislator daerah pemilihan Binjai-Langkat ini. “Bukan saja Pajak Ekspor dan Bea Keluar tetapi pajak penghasilan badan dan pribadi dari beredarnya uang dari buah sawit sampai menjadi CPO dan produk turunannya bisa mendatangkan puluhan triliun rupiah lagi,” ujar Sugianto.
Di bagian akhir ia berharap pemerintah dapat mengambil keputusan yang tepat.
“Masalah tidak serumit yang kita bayangkan. Semoga pemimpin bangsa kita diberikan hikmat untuk kebaikan bangsa dan negara,” demikian Sugianto Makmur.
© Copyright 2024, All Rights Reserved