Kenang-Kenangan Berjuang Memecah Kabut di Villa Tebu Manis

Kota Berastagi/Ist
Kota Berastagi/Ist

Jangan pasang AC di Berastagi! Rasakan saja sensasi berdiri di atas es batu. Seperti dingin mengiris tulang, seperti beku memeluk gigil. Tim yang bersamaku pun takluk, langsung meringkuk ke  kamar dan menyelimuti tubuhnya.  Sementara aku masih menyerap udara yang sangat bertolak belakang dengan Medan. 

Dingin yang begitu lembut dan pekat di Villa Tebu Manis membawaku kembali ke kisah-kisah yang pernah bersarang di ingatanku.  Beberapa tahun di belakang aku pernah begitu intim berkelindan dengan udara Berastagi yang selalu pagi.

Ingatanku memantul-mantul di antara tebing gunung. Di sebuah tahun ketika Sinabung intens menggaung; debu, lahar, asap dan pijaran api mewarnai udara Berastagi. Lalu banyaklah anak-anak Sinabung mengungsi di Berastagi, salah satu titiknya di KWK Jalan Udara. Aku ada bersama mereka, rumah yang ada tungku perapian menghangatkan udara. Rumah Ori Semloko, khas seperti rumah orang Eropa.

Di rumah itu aku pernah tak berani mandi. Tubuh dan dingin seperti dua pasukan yang saling berhadapan di medan perang. Melihat air bagai menyaksikan seribu samurai yang siap mengiris kulit. Aku mendekam di balik selimut berlapis-lapis. Apakah aku harus menyerah dan Kembali ke Medan saja? Tidak! Aku teringat kata-kata bijak orang tua: “Bila hendak bersahabat dengan malam jadilah gelap”. Jadi kuputuskan aku harus bersahabat dengan dingin Berastagi, caranya menyatu dengan dingin itu dan hentikan perseteruan. Aku mandi, menggigil setelahnya segar dan tak perlu lagi berlapis-lapis selimut tebal.

Lalu aku teringat kembali ungkapan almarhumah Ken Zuraidah, ketika kami Bersama menyelenggarakan  Workshop Teater Pemberdayaan Perempuan di Asrama Katolik Cinta Alam di Sibolangit, tahun 2015. Setelah dia kembali dari ngelayap sendirian ke Berastagi , kami mengopi.

Dengan wajah murung, dia berujar; “Berastagi sudah berubah, jauh berbeda ketika aku Bersama mas Willy sering kemari di tahun 80 dan 90 an. Dulu masih asri dan artistik, sama persis dengan dokumen yang kami temukan di Perpustakaan Belanda, sekarang banyak bangunan yang tak tentu arah berdiri, menyemak. Tata ruang yang buruk. Udaranya pun banyak terganggu polusi”. Panjang lebar dia menceritakan pengalaman-pengalaman investigasi dataran tinggi di Sumatera. Hasil penelusuran berbagai manuskrip dan arsip di Perpustakaan Belanda.

Ia begitu bersemangat menceritakan keistimewaan dan kekayaan Sumatera sepanjang Bukit Barisan. “Ini Pulau Emas. Mau memahami peradaban dunia, pelajari dengan baik Sumatera”. Konon, sebelum WS. Rendra wafat, mereka berdua sedang menggali berbagai hal yang ‘rahasia’ tentang lanskap Sumatera, sudah dicatat berbundel-bundel, terkhusus pegunungan di tanah Karo dan yang sesuatu yang ada di dalamnya, berangkat dari beberapa dokumen penting yang mereka temukan.

Ya, banyak misteri dan sesuatu yang belum tergali di Bukit Barisan. Ratusan tahun lalu, Belanda mulai merancang proyek besar mendirikan kota Berastagi, kini peninggalannya masih tersisa di Gundaling, Bukit Kubu dan Bandara di jalan Udara yang tinggal puing-puingnya. Areal ini juga akann dieksplor dalam Film Layar Lebar Perik Sidua-dua. Belanda bukan hanya mampu membendung lautan jadi kota, tapi mereka juga dapat mengubah hutan di pegunungan tepat di jantungnya Bukit Barisan menjadi Berastagi.

Pastinya ketika ada upaya membangun Bandar Udara di Berastagi oleh Belanda, tentu ada agenda melakukan  pembangunan besar-besaran di Kawasan Bukit Barisan. Sebuah Kawasan wisata Karo Vulkano Park berada di deretan pegunungan yang berlapis-lapis, mengingat di Belanda tak ada pegunungan  seperti yang ada sepanjang Sumatera.

Atau adakah agenda tersembunyi Belanda selain membangun Kawasan Wisata Karo Vulkano Park? Kabut masih tebal menutupi pohon dan bebatuan.

Seperti malam ini di Villa Tebu Manis, kabut menggenangi udara di ketinggian 1450 mdpl, di antara hutan gunung barus, deleng singkut, sibayak, bukit gundaling dan deleng kutu. Villa ini adalah hutan yang dibuka sebagai hunian, berada di garis lurus tahura antara gunung Barus dan Sibayak.

Sudah bisalah kita meraba bila memang tak ingin melupakan sejarah. Film Layar Lebar Perik Sidua-dua sebagai pintu pembuka menguak hubungan Belanda dan Sumatera. Memposisikan Belanda sebagai sahabat karena masih banyak dokumen-dokumen kita bertumpuk di sana. Dengan adanya hubungan timbal balik lewat travel wisata.

Ah, kenangan-kenangan berjalan di kota dingin yang tepat berada di jantung bukit barisan ini masih memantul-mantul, bergerak liar memecah kabut. Di kamar mandi, air masih menggigil.***

Sebundel Catatan Tim Artistik Tour The Karo Vulkano Park 26-30 Desember 2022, Produksi Film Layar Lebar Perik Sidua-dua (Inseparable Souls In Tongging) ditulis oleh Pemimpin Teater Rumah Mata