Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, Polri sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dalam membangun dirinya harus selalu selaras dengan agenda pembangunan nasional.
Proses reformasi Polri telah menampakkan hasil pada aspek struktural dan instrumental yang memantapkan kedudukan dan susunan Polri dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, serta semakin mengemukanya paradigma baru sebagai polisi yang berwatak sipil (Civilian Police).
Sementara itu pembenahan aspek kultural masih berproses, antara lain melalui: pembenahan kurikulum pendidikan, sosialisasi nilai-nilai Tribrata.. Dalam perkembangannya, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (KAPOLRI) Jenderal Sigit Listyo Prabowo ingin menampilkan citra baru Kepolisian Republik Indonesia (PoIri) dalam negara demokratis dengan mengadakan rekonstruksi yang cukup mendasar dalam tubuh Polri.
Rekonstruksi tersebut dilakukan baik secara konseptual maupun secara operasional, agar stigma PoIri sebagai bagian dari oppresor dan alat kekuasaan masa lalu dapat berganti dengan tumbuhnya budaya kepercayaan (cultural trust) masyarakat pada PoIri karena keberadaan jati diri Polisi di negara maupun di dunia memiliki peran sebagai pelayan (to serve), sebagai pelindung (to protect) masyarakat dan penengarai (to mediate) dalam jajaran birokrasi pemerintahan.
Yang terpenting dalam kedudukan Polri adalah bagaiman membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi dimanapun Polri akan terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan.
Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini, Polri semakin gencar dalam mengedepankan kepentingan masyarakat dengan berbagai macam terobosan yang berguna untuk meningkatkan keberpihakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Seperti halnya terkait permasalahan dengan berlakunya UU ITE yang dianggap tumpang-tindih dalam proses penangannya.
Sejak Presiden Joko Widodo meminta Kepolisian selektif menangani kasus dugaan pelanggaran UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No.19 tahun 2016 (UU ITE), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bergerak cepat dengan menerbitkan surat edaran.
Melalui Surat Edaran (SE) Kapolri No.SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudukan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, Polri memprioritaskan atau menekankan pendekatan restorative justice (pemulihan keadilan), penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui proses mediasi, dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran UU ITE.
Dalam mengemukakan pendapat, tiap individu tiap individu memiliki Hak dasar yang tercantum dalam konstitusi. Di Indonesia kebebasan untuk berpendapat diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Disamping itu, dalam Pasal 28F UUD 1945 juga dijelaskan bahwa :Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Meskipun demikian, seseorang dalam mengeluarkan pendapatnya harus menghargai hak orang lain, serta tunduk pada hukum yang berlaku. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Perlu diketahui bahwa penghinaan dan/atau pencemaran nama baik telah diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) jauh sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016).
Larangan seseorang melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di UU ITE diatur di Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sedangkan sanksi yang melakukan perbuatan itu diatur di Pasal 45 ayat (3) UU19/2016, yakni: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Namun ketentuan tersebut merupakan delik aduan. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 disebutkan bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
Perlu dipahami bahwa yang mendasari seseorang kehilangan kebebasan berpendapat ialah karena aturan yang membatasi hal tersebut. Seseorang tidak dilarang untuk melakukan komentar, hanya saja harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan tidak melanggar hukum.
Sejalan dengan hal ini bahwa politik hukum pidana pemerintah ketika menyusun UU ITE menjadikan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
Sanksi pidana hanyalah untuk mencegah penyalahgunaan dalam pemanfaatan teknologi informasi. UU ITE lebih ditujukan untuk melindungi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi informasi dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dunia usaha.
Oleh karenanya dalam draf RUU versi pemerintah, tidak terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik. Delik tersebut baru muncul dalam pembahasan RUU ini di DPR.
Maka dari itu Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (KAPOLRI) Jendral Sigit Listyo Prabowo bergerak cepat dalam menindak lanjuti perkembangan situasi dan dinamika masyarakat terhadap implementasi UU ITE.
Sebab, penerapan UU ITE dinilai banyak kalangan kontradiktif dengan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui ruang digital yang menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Dalam menegakan hukum yang berkeadilan itu, Kapolri meminta jajaran di bawah agar terus mengedepankan upaya edukasi dan persuasif untuk menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan demi menjaga ruang digital Indonesia menjadi lebih bersih, sehat, beretika, dan produktif. Untuk itu, ada beberapa hal yang penting yang menjadi konsen Jenderal Sigit, diantaranya:
Penyidik mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus mengalami perkembangan dengan berbagai macam persoalannya. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
Juga ada filterisasi dalam menerima laporan dari masyarakat, apakah ranah kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana. Pelarangan korban mewakilkan kepada pihak lain untuk membuat laporan diapresiasi banyak kalangan sehingga tidak sembarangan orang dapat membuat laporan. Terobosan Kapolri dengan memfasilitasi pelapor dengan korban dengan memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan mediasi sebagai alternatif solusi untuk mengurangi benturan dalam masyarakat yang cenderung meningkat sebelumnya.
Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice. Kecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatism.
Terhadap korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, maka tidak dilakukan penahanan. Sebelum berkas diajukan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar diberikan ruang untuk mediasi kembali. Penyidik agar berkoordinasi dengan pihak JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberi saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan. Kesebelas, agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Jendral Sigit Listyo Prabowo diharapkan mampu menjadi trigger agar pelaksanaan UU ITE memenuhi rasa berkeadilan dan yang terpenting dalam pelaksanaan aturan adalah tidak ada diskriminasi dan equal treatment Karena masih ada beberapa laporan terkait UU ITE, misalnya terkait ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, agar tidak muncul spekulasi diskriminasi, laporan tersebut ditindaklanjuti sesuai UU dan konsep presisi.
Pendekatan-pendekatan yang mengedepankan penyelesaian secara restorative justice yang diambil Jenderal Sigit setidaknya memberi ruang literasi dalam dunia digital agar seluruh masyarakat lebih bijak dalam memanfaatan ruang digital ini meski Polri berani mengambil terobosan manakala muncul persoalan di masyarakat. Keseriusan Kapolri Sigit untuk merawat demokrasi, khususnya dalam aspek kebebesasn berpendapat setidaknya nantinya bisa dilihat parameternya saat apakah pengaduan dalam persoalan delik ITE meningkat ata kurva nya cenderung menurun. Salam Demokrasi!***
Penulis adalah Staf Komunikasi Kapolri
© Copyright 2024, All Rights Reserved