KITA patut bersyukur dan menyambut gembira pembebasan Siti Aisyah dari
segala tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya terkait kematian
warganegara Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korea Utara di Kuala
Lumpur International Airport (KLIA) dua tahun lalu.
Bagaimanapun, kasus kematian WN Korea Utara itu sudah aneh sejak awal.
Siti
Aisyah bersama seorang wanita asal Vietnam, Doan Thi Huong, dituduh
melakukan pembunuhan. Mereka disebutkan berpura-pura sedang shooting sebuah acara reality show, lalu menghampiri pria itu dari belakang dan mengusapkan sesuatu ke wajahnya.
Pria itu kemudian terhuyung-huyung, mendatangi petugas bandara, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Rekaman
CCTV yang memperlihatkan dua fragmen tersebut disebarkan dan dikutip
berbagai media massa dan sosial media. Disebutkan kemudian bahwa pria
yang meninggal itu bernama Kim Jong Nam, saudara tiri Ketua Umum Partai
Pekerja Korea, Kim Jong Un.
Juga disebutkan bahwa Siti Aisyah dan
Doan Thi Huong membunuhnya dengan cara mengusapkan zat kimia pembunuh
VX ke wajahnya atas permintaan pihak lain.
Peristiwa ini diikuti drama diplomatik antara Malaysia dan Korea Utara.
Malaysia
mengusir Dutabesar Korea Utara, Kang Chol. Dengan terpaksa Kang Chol
angkat kaki dari Malaysia tanpa pernah sekalipun melihat jenazah
warganegara Korea Utara itu. Dia tidak diberi kesempatan sedetik pun.
Malaysia
juga sempat melarang semua diplomat Korea Utara meninggalkan Malaysia.
Sebelum akhirnya melepaskan mereka kembali ke Korea Utara.
Korea
Utara membalas tindakan itu, mem-persona non grata Dubes Malaysia,
Mohamad Nizan Mohamad, dan sempat juga melarang diplomat Malaysia
meninggalkan Korea Utara.
Mereka baru diperbolehkan pulang ke Malaysia setelah warganegara Korea Utara itu dikembalikan ke Pyongyang.
Bulan
Oktober lalu saat berkunjung ke Pyongyang, saya sempat minta diantar
melewati gedung Kedutaan Malaysia yang hanya beberapa blok dari Kedubes
RI.
Gerbang tertutup rapat. Rumput di bagian depan sudah tinggi
tidak terawat. Bendera Malaysia masih berkibar dalam keadaan lusuh dan
rapuh.
Hubungan Malaysia dengan Korea Utara sebelum peristiwa itu sebenarnya amat baik.
Bahkan lebih baik dibandingkan dengan hubungan Indonesia dengan Korea Utara.
Ilustrasinya
begini: warganegara Malaysia sebelum peristiwa itu tidak membutuhkan
visa untuk berkunjung ke Korea Utara. Pesawat Air Koryo juga pernah
terbang langsung dari Pyongyang ke Kuala Lumpur sebelum akhirnya tutup
karena kekurangan penumpang.
Lalu, bila berkunjung ke Pyongyang,
kita bisa dengan mudah menemukan produk-produk Malaysia di hotel kita.
Baik sabun dan shampo maupun makanan kemasan dan minuman kaleng.
Sementara
bagi Indonesia, hanya diplomat saja yang bisa bebas visa ke Korea Utara
untuk beberapa waktu yang dibatasi. Demikian juga dengan diplomat Korea
Utara yang berkunjung ke Indonesia. Sementara untuk warganegara biasa,
sudah pasti memerlukan visa.
Hubungan Indonesia dan Korea Utara
lebih didasarkan pada catatan sejarah bahwa pendiri Korea Utara pernah
berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri peringatan satu dasawarsa
Konferensi Asia Afrika (KAA). Itu kunjungan yang istimewa, karena Kim Il
Sung membawa putranya, Kim Jong Il.
Hanya dalam kesempatan itulah keduanya, Kim Il Sung dan Kim Jong Il, berpergiaan bersama ke luar negeri.
Juga
dalam kunjungan itu Bung Karno menyerahkan bunga anggrek kepada Kim Il
Sung. Kini setiap tanggal 15 April, hari kelahiran Kim Il Sung,
pemerintah Korea Utara menggelar pameran Bunga Kim Il Sung secara
besar-besaran di seluruh pelosok negeri.
Tiga Teori
Setelah
peristiwa di KLIA itu, frame tunggal yang ditampilkan hampir semua
media berpengaruh di dunia adalah: Kim Jong Un perintahkan pembunuhan
saudara tirinya, Kim Jong Nam, yang sejak lama hidup dalam pembuangan.
Sejumlah media di tanah air pernah menghubungi saya untuk mendapatkan penjelasan mengenai apa yang terjadi sebenarnya.
Saya
selalu memberikan disclamer bahwa saya tidak tahu apa yang sesungguhnya
terjadi di tempat kejadian perkara (TKP). Saya hanya bisa mendekati
kasus itu dari pemahaman umum saya mengenai Korea Utara, karakter
politik dan hubungan baiknya dengan sejumlah negara, termasuk Malaysia,
Indonesia, dan Vietnam.
Saya juga menggunakan pemahaman saya
atas ketegangan di Semenanjung Korea dan kawasan Asia Timur yang dua
tahun lalu masih amat tegang. Beda dengan sekarang.
Dengan semua perangkat analisa itulah saya berani mengatakan ada tiga teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan kasus ini.
Pertama,
teori pembunuhan biasa ala mafia. Teori ini didukung oleh karakter Kim
Jong Nam†yang digambarkan oleh media Barat sebagai sosok yang punya
bisnis tidak jelas, gemar menggunakan dokumen palsu saat berkunjung ke
negara lain, gemar main judi dan perempuan.
Teori kedua dan ketiga adalah teori pembunuhan politik, yang saya bagi menjadi varian A dan varian B.
Teori
pembunuhan politik varian A mengikuti frame umum yang dikembangkan
pihak-pihak berkepentingan saat itu bahwa mastermind pembunuh Kim Jong
Nam adalah Korea Utara. Dalam teori ini, Kim Jong Nam dianggap berbahaya
dan mengancam penguasa.
Ini adalah teori yang paling lemah.
Tidak mudah bagi Korea Utara untuk menjalin hubungan persahabatan dengan
pihak lain. Apalagi hubungan kejahatan.
Sementara teori
pembunuhan politik varian B menyebutkan bahwa mastermind pembunuhan
adalah pihak lain di luar Korea Utara. Tingkat kemungkinan teori ini
sangat tinggi. Bukan tidak mungkin memang ada upaya untuk semakin
menyudutkan Korea Utara yang ketika itu masih membandelâ€.
Dulu Diam Adalah Emas
Pihak
Korea Utara sejak kasus tersebut muncul ke permukaan berusaha
memberikan tanggapan. Sejauh yang saya perhatikan, upaya itu kurang
mendapat sambutan.
Drama sudah kadung memenuhi ruang publik.
Drama adalah apa yang dicari-cari. Peristiwa yang biasa saja, apa
adanya, kurang diminati.
Di Jakarta, saya berusaha meyakinkan Dubes Korea Utara, An Kwang Il, untuk mau memberikan pernyataan mengenai kasus ini.
Berkali-kali ia menolak permintaan saya. Dia tidak mau pernyataannya akan digunakan untuk semakin memojokkan posisi negaranya.
Kepada
Dubes An saya berkata, dulu diam adalah emas. Tetapi hari ini, kalau
Anda memilih terlalu diam, pihak lain yang akan bercerita tentang diri
Anda. Cerita yang sesuka hatinya.
Akhirnya Dubes An setuju. Wawancara kami lakukan di Kedubes.
Saya
menanyakan sejumlah hal, mulai dari hubungan Korea Utara dan Malaysia
yang terganggu karena kasus ini, juga soal apakah benar jatidiri
warganegara Korea Utara yang meninggal dunia di KLIA itu adalah seperti
yang disebutkan oleh frame umum yang sudah tersebar luas dan digemari
masyarakat dunia.
Dubes An mengatakan, Malaysia dan Korea Utara
harus bekerjasama dengan baik sehingga menjadi jelas apa penyebab
kematian warganegara Korea Utara itu.
Dia mengatakan, bahwa yang
tewas di KLIA itu adalah Kim Chol, seorang diplomat Korea Utara yang
sudah seminggu sebelumnya berada di Malaysia dan sedang menunggu
penerbangan ke Beijing.
Kami sudah mengklarifikasi identitas
warganegara kami yang tewas itu kepada pihak Malaysia, tetapi Malaysia
lebih percaya pada informasi yang disampaikan pihak negara ketiga. Ini
tidak baik,†ujar Dubes An.
Penjelasan mengenai penggunaan gas kimia VX untuk menghabisi nyawa warganegara Korea Utara itu pun tidak bisa dipercaya.
Gas
kimia VX sangat kuat dan sangat mematikan. Bagaimana mungkin korbanâ€
bisa ditewas sementara pihak yang mengusapkan gas itu tidak terganggu
sama sekali.
Polisi Malaysia saat melaporkan pertama kali kabar
kematian Kim Chol ke pihak Kedubes Korea Utara di Kuala Lumpur menemukan
obat-obatan jantung di sakunya. Jadi, kemungkinan besar, Kim Chol tewas
karena serangan jantung.
Tetapi, setelah berkomunikasi dengan
negara ketigaâ€, pihak Malaysia mengubah cerita dan menolak keterlibatan
Korea Utara dalam proses otopsi. Dubes Korea Utara di Malaysia, Kang
Chol, pun tidak diizinkan melihat tubuh korban.
Asia Timur Unik
Senin
menjelang siang (11/3), saya sedang mengajar mata kuliah Politik Asia
Timur di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ketika mengetahui pertama
kali soal pembatalan segala dakwaan untuk Siti Aisyah dalam kasus ini.
Tema kuliah kemarin adalah keamanan bersama di kawasan Asia Timur. Saya berikan proposisi bahwa security (keamanan) adalah situasi dimana defense (pertahanan) lebih besar daripada ancaman (threat).
Kawasan
Asia Timur unik. Semua negara di kawasan itu memiliki keunggulan, punya
cerita tidak enak satu sama lain di masa lalu. Tidak ada organisai
kawasan yang menyatukan mereka. Setiap negara membangun sistem
pertahanan yang khas, dan dengan aliansi bersama pihak lain di luar
kawasan, setiap negara di Asia Timur punya kemampuan deterrence atau penangkal yang memadai.
Lalu,
seorang teman dari negara ketiga mengirimkan foto Siti Aisyah diapit
Menteri Hukum-HAM dan Dubes RI untuk Malaysia. Juga foto pesawat jet
pribadi yang akan membawa Siti Aisyah ke Halim Perdanakusuma.
Saya
senang hanya melihat kedua foto itu. Di benak saya terlintas berbagai
pembicaraan dengan banyak pihak mengenai peristiwa yang terjadi di KLIA.
Awalnya, saya tidak berminat bicara tentang kasus ini. Alasan
pertama dan utama, saya tidak tahu detail kasus ini. Tidak berada di
TKP, tidak pernah bicara langsung dengan saksi mata, pihak yang dituduh
sebagai pelaku, juga tidak pernah melihat tubuh korban dan membaca hasil
otopsi.
Sementara gelombang pemberitaan dengan frame
pembunuhan politik sudah sedemikian gencarnya. Bagai tsunami. Menggulung
semua akal sehat. Membuat banyak pihak, juga wartawan seperti
kehilangan akal. Menelan bulat-bulat.
Saya baru tertarik bicara
setelah seorang wartawan bertanya kepada saya, apakah benar di lantai
dua restoran Pyongyang di Kelapa Gading adalah tempat rekruitmen
mata-mata Korea Utara.
Saya tahu restoran itu. Pernah beberapa
kali makan disana. Pejabat resmi pemerintah juga ada yang pernah kesana
menghadiri kegiatan resmi Kedubes Korea Utara.
Tetapi atas
pertanyaan yang disampaikan, saya tidak tahu sama sekali. Ini
pertanyaan, atau jebakan. Sempat terlintas pertanyaan itu di benak saya.
Tetapi saya yakin, ini hanya perasaan saja. Teman wartawan yang
menanyakan hal itu tentulah benar-benar ingin bertanya.
Maka
jawaban saya adalah: saya tidak tahu. Setahu saya di sebelah kiri
resotran Pyongyang ada restroran Korea Selatan. Jangan-jangan lantai dua
restoran Korea Selatan itu juga tempat rekruitmen mata-mata Korea
Selatan.
Demi membaca jawaban saya, teman wartawan yang
mengajukan pertanyaan tertawa. Dan tawa itu ditulisnya. Saya kira, dia
benar-benar tertawa di ujung sana.
Tak lama setelah peristiwa
itu, restoran Pyongyang tutup. Saya dengar, restoran ditutup karena
pemilik gedung tidak memperpanjang kontrak. Mungkin khawatir
terseret-seret juga dalam kasus ini. Ini dugaan saya.
Saya sempat
mengajukan pertanyaan kepada seorang teman yang saya rasa tahu banyak
hal mengenai Korea Utara. Terlepas dari kasus di KLIA, apakah memang ada
sosok yang namanya Kim Jong Nam di Korea Utara.
Teman saya ini,
mengatakan, Kim Jong Nam memang ada. Dulu sekali, namanya sering
terdengar. Sempat diberi jabatan di semacam institusi kebudayaan. Sampai
ia menikah dengan wanita yang tidak disukai sang ayah, Kim Jong Il.
Lalu tersingkir.
Tetapi, teman saya ini tidak tahu apa yang
terjadi kemudian. Dia juga tidak tahu apakah Kim Jong Nam memang terusir
dan seterusnya.
Saya pernah tanyakan hal ini kepada Dubes An.
Apakah ada sosok yang bernama Kim Jong Nam? Jawaban Dubes An tidak bisa
saya ganggu gugat: kami tidak bisa membicarakan keluarga VIP.
Untuk
menutup tulisan yang bisa panjang ini, saya ingin mengatakan satu hal.
Peristiwa di KLIA terjadi dua tahun lalu. Warganegara Indonesia, Siti
Aisyah yang awalnya dituduh ikut dalam pembunuhan warganegara Korea
Utara-siapapun dia-akhinya dibebaskan dari semua dakwaan. Ini bukan
vonis tidak bersalah. Ini adalah pencabutan dakwaan. Berarti yang
dituduhkan padanya tidak ada.
Dua tahun setelah itu, banyak hal yang telah terjadi terkait Korea Utara dan ketegangan di Asia Timur.
Bulan
April tahun lalu, untuk pertama kali Kim Jong Un bertemu dengan
Presiden Korea Selatan Moon Jaein di Panmunjom. Lalu di bulan Juni 2018
Kim Jong Un bertemu dengan Presiden Donald Trump di Singapura. Ini dua
terobosan penting di papan catur Asia Timur.
Moon Jaein telah
pula berkunjung ke Pyongyang, Korea Utara. Di hari terakhir, mereka
berkunjung ke puncak Gunung Paektu. Gunung sakral bagi bangsa Korea.
Gunung yang melambangkan semangat nenek moyang mereka. Gunung Paektu dan
Gunung Hala di Pulau Jeju, Korea Selatan, adalah dua penjuru
persaudaraan Korea.
Dua minggu lalu, saya menghadiri KTT Korea
Utara dan AS di Hanoi, Vietnam. Di akhir pertemuan, Kim Jong Un dan
Donald Trump tidak menandatangani kesepakatan apapun. Padahal semua hal
pada draft telah disepakati.
Banyak pihak yang mengatakan itu
adalah kegagalan. Tetapi saya kira, itu adalah keberhasilan keduanya
untuk saling mengenal. Ada tema yang tidak atau belum dibahas, mendadak
diajukan di atas meja perundingan.
Hal itu tidak mengurangi
semangat keduanya untuk tetap menjalin komunikasi demi perbaikan
hubungan. Komentar pihak Korea Selatan pun positif. Juga memandang,
pertemuan Hanoi menampilkan sisi lain sebuah keberhasilan diplomasi.
Saya
berharap pencabutan atau pembatalan dakwaan untuk Siti Aisyah ini juga
bermakna positif dan konstruktif terhadap perdamaian di Semananjung
Korea. []
Penulis adalah wartawan senior, dosen politik Asia Timur.
© Copyright 2024, All Rights Reserved