Kader ‘berdarah-darah’ mungkin menjadi istilah yang tepat untuk menggambarkan jika seseorang itu tidak hanya terdaftar secara administratif saja pada partai politik tertentu. Melainkan, yang bersangkutan juga memiliki keterikatan secara lahir dan batin, fisik dan psikis dalam memperjuangkan kepentingan partai politik tempatnya berpolitik.
Dengan mudah kata itu membuat kita membayangkan adanya sebuah kesetiaan, loyalitas dan pengorbanan oleh sang kader demi partai politiknya. Demi apa? tentu hanya kader tersebut yang bisa menjawab, sebab kalau secara universal sangat mudah dipahami bahwa politik adalah jalan untuk meraih kekuasaan.
Sejatinya, partai politik menjadikan kader mereka yang berdarah-darah ini sebagai sosok-sosok yang diproyeksikan untuk menjadi pemimpin. Tentunya dengan dukungan yang juga berdarah-darah, mulai dari membina, membimbing, mengusung hingga memenangkan. Karena logikanya, akan muncul ‘holong mangalap holong’, istilah dalam bahasa Batak bermakna ‘kasih sayang akan mengundang kasih sayang, loyalitas akan mengundang loyalitas dan arti sejenisnya.
Sayangnya, Indonesia sepertinya bakal merindukan kondisi yang ideal itu. Kader berdarah-darah jangan lagi terlalu percaya diri untuk mendapat balasan jasa atas kesetiaan, loyalitas dan pengorbanannya kepada partai dengan mengusungnya menjadi calon pemimpin. Sebab faktanya, tidak sedikit kader berdarah yang justru harus tersingkir akibat politik trah (biologis).
Lihat saja pada perhelatan Pilpres, Pilgubsu Hingga Pilkada Walikota/Bupati. Sering muncul sosok yang diusung berasal dari non kader, atau sosok yang tiba-tiba menjadi kader hanya gegara ada pertalian trah dengan pemilik parpol. Ironis memang, tapi begitulah faktanya.
Kalau mau lucu-lucuan, ada kejadian di Sumatera Utara dimana kader yang berpotensi menang dan bersedia maju harus ‘ditahan’ demi mendukung kader partai lain untuk bertarung tanpa lawan alias kotak kosong. Aduhai sekali bukan? tapi itulah politik, kata mereka.
Sepertinya perlu kembali merenung, bahwa partai politik tidak harus menjadi objekan untuk menempatkan trah seseorang menjadi pemimpin. Sebab, seorang dokter senior yang sangat ahli sekali pun, akan fatal jika memaksakan anaknya yang tidak mampu menjadi dokter untuk mengikuti jejaknya. Ujuk-ujuk memberi jalan agar anaknya menjadi sosok terpandang sebagai dokter, ia justru bisa menjadi bencana bagi sang anak dan orang lain yang nyawanya meregang karena praktik ‘trah dokter’.
Apalagi kan di politik ada istilah anak ideologis dan anak biologis. Saya kira, trah anak ideologis juga tak salah kalau memang lebih memiliki kemampuan dibanding anak biologis. Karena saya yakin, anak ideologis itu biasanya dari mereka-mereka yang berdarah-darah tadi.
Ya semogalah, kader berdarah tak tersingkir fenomena politik trah (biologis).***
© Copyright 2024, All Rights Reserved