Karena itu menurutnya, Bawaslu harus mengawasi masa reses anggota DPRD Sumut yang dimulai 15 - 22 Januari 2019. Jika kemudian dalam reses tersebut menawarkan diri untuk didukung dan pilih kembali pada pemilu mendatang juga termasuk pelanggaran kampanye, maka harus dapat dibedakan antara masa reses dengan masa kampanye.
\"Reses itukan menyerap aspirasi di dapil masing-masing-masing yang hasilnya akan dilaporkan dalam rapat paripurna untuk diteruskan ke pemerintah daerah dalam bentuk pokok-pokok pikiran anggota DPRD Sumut sebagai bagian dalam perencanaan pembangunan, bukan malah berkampanye,\" sebutnya.
Ditambahkannya, undang-undang Pasal 280 Ayat 1 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Pelanggaran terhadap ketentuan itu dianggap tindak pidana pemilu, sementara Pasal 304 UU Pemilu juga mengatur, dalam melaksanakan kampanye, presiden-wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah, dilarang menggunakan fasilitas negara.
\"Fasilitas negara yang dimaksud termasuk berbagai jenis fasilitas yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),\" sebutnya.
Oleh karenanya Bawaslu Kab/Kota maupun Panwas kecamatan harus lebih fokus mengawasi isi konten disampaiakan saat reses, jika terbukti anggota DPRD Sumut aktif yang juga sebagai calon legislatif melakukan kampanye bisa dikenakan sanksi pidana. Selain mengawasi konten pesan yang disampaikan saat reses agar tidak berbau kampanye, Bawaslu juga harus mengawasi peredaran uang dan pemberian sembako kepada peserta kegiatan reses sebagai bentuk pengganti transport agar masyarakat yang dijumpai memilihnya kembali.
\"Kami juga mengimbau kepada teman-teman JPPR Kab/Kota untuk memantau masa reses anggota DPRD Sumut ini, sebab masa reses ini rawan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye, kalau ditemukan adanya pelanggaran kampanye segera laporkan agar anggota DPRD Sumut yang melanggar tersebut dikenakan sanksi,\" tutup Darwin Sipahutar. " itemprop="description"/>
Karena itu menurutnya, Bawaslu harus mengawasi masa reses anggota DPRD Sumut yang dimulai 15 - 22 Januari 2019. Jika kemudian dalam reses tersebut menawarkan diri untuk didukung dan pilih kembali pada pemilu mendatang juga termasuk pelanggaran kampanye, maka harus dapat dibedakan antara masa reses dengan masa kampanye.
\"Reses itukan menyerap aspirasi di dapil masing-masing-masing yang hasilnya akan dilaporkan dalam rapat paripurna untuk diteruskan ke pemerintah daerah dalam bentuk pokok-pokok pikiran anggota DPRD Sumut sebagai bagian dalam perencanaan pembangunan, bukan malah berkampanye,\" sebutnya.
Ditambahkannya, undang-undang Pasal 280 Ayat 1 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Pelanggaran terhadap ketentuan itu dianggap tindak pidana pemilu, sementara Pasal 304 UU Pemilu juga mengatur, dalam melaksanakan kampanye, presiden-wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah, dilarang menggunakan fasilitas negara.
\"Fasilitas negara yang dimaksud termasuk berbagai jenis fasilitas yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),\" sebutnya.
Oleh karenanya Bawaslu Kab/Kota maupun Panwas kecamatan harus lebih fokus mengawasi isi konten disampaiakan saat reses, jika terbukti anggota DPRD Sumut aktif yang juga sebagai calon legislatif melakukan kampanye bisa dikenakan sanksi pidana. Selain mengawasi konten pesan yang disampaikan saat reses agar tidak berbau kampanye, Bawaslu juga harus mengawasi peredaran uang dan pemberian sembako kepada peserta kegiatan reses sebagai bentuk pengganti transport agar masyarakat yang dijumpai memilihnya kembali.
\"Kami juga mengimbau kepada teman-teman JPPR Kab/Kota untuk memantau masa reses anggota DPRD Sumut ini, sebab masa reses ini rawan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye, kalau ditemukan adanya pelanggaran kampanye segera laporkan agar anggota DPRD Sumut yang melanggar tersebut dikenakan sanksi,\" tutup Darwin Sipahutar. "/>
Karena itu menurutnya, Bawaslu harus mengawasi masa reses anggota DPRD Sumut yang dimulai 15 - 22 Januari 2019. Jika kemudian dalam reses tersebut menawarkan diri untuk didukung dan pilih kembali pada pemilu mendatang juga termasuk pelanggaran kampanye, maka harus dapat dibedakan antara masa reses dengan masa kampanye.
\"Reses itukan menyerap aspirasi di dapil masing-masing-masing yang hasilnya akan dilaporkan dalam rapat paripurna untuk diteruskan ke pemerintah daerah dalam bentuk pokok-pokok pikiran anggota DPRD Sumut sebagai bagian dalam perencanaan pembangunan, bukan malah berkampanye,\" sebutnya.
Ditambahkannya, undang-undang Pasal 280 Ayat 1 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Pelanggaran terhadap ketentuan itu dianggap tindak pidana pemilu, sementara Pasal 304 UU Pemilu juga mengatur, dalam melaksanakan kampanye, presiden-wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah, dilarang menggunakan fasilitas negara.
\"Fasilitas negara yang dimaksud termasuk berbagai jenis fasilitas yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),\" sebutnya.
Oleh karenanya Bawaslu Kab/Kota maupun Panwas kecamatan harus lebih fokus mengawasi isi konten disampaiakan saat reses, jika terbukti anggota DPRD Sumut aktif yang juga sebagai calon legislatif melakukan kampanye bisa dikenakan sanksi pidana. Selain mengawasi konten pesan yang disampaikan saat reses agar tidak berbau kampanye, Bawaslu juga harus mengawasi peredaran uang dan pemberian sembako kepada peserta kegiatan reses sebagai bentuk pengganti transport agar masyarakat yang dijumpai memilihnya kembali.
\"Kami juga mengimbau kepada teman-teman JPPR Kab/Kota untuk memantau masa reses anggota DPRD Sumut ini, sebab masa reses ini rawan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye, kalau ditemukan adanya pelanggaran kampanye segera laporkan agar anggota DPRD Sumut yang melanggar tersebut dikenakan sanksi,\" tutup Darwin Sipahutar. "/>
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Sumatera Utara Darwin Sipahutar menyoroti banyaknya anggota DPRD Sumut yang mencalonkan kembali menjadi legislator pada pemilu 2019 dinilai lebih memilih untuk berkampanye dibanding menyerap aspirasi masyarakat saat reses. Hal ini sangat dimungkinkan menjadi bentuk pelanggaran kampanye dikarenakan masa kampanye pemilu 2019 yang bersamaan dengan agenda reses tersebut.
"Jika ini yang dilakukan oleh anggota DPRD petahana yang mencalonkan diri kembali maka ini termasuk pelanggaran dan tindak pidana pemilu," katanya.
Karena itu menurutnya, Bawaslu harus mengawasi masa reses anggota DPRD Sumut yang dimulai 15 - 22 Januari 2019. Jika kemudian dalam reses tersebut menawarkan diri untuk didukung dan pilih kembali pada pemilu mendatang juga termasuk pelanggaran kampanye, maka harus dapat dibedakan antara masa reses dengan masa kampanye.
"Reses itukan menyerap aspirasi di dapil masing-masing-masing yang hasilnya akan dilaporkan dalam rapat paripurna untuk diteruskan ke pemerintah daerah dalam bentuk pokok-pokok pikiran anggota DPRD Sumut sebagai bagian dalam perencanaan pembangunan, bukan malah berkampanye," sebutnya.
Ditambahkannya, undang-undang Pasal 280 Ayat 1 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Pelanggaran terhadap ketentuan itu dianggap tindak pidana pemilu, sementara Pasal 304 UU Pemilu juga mengatur, dalam melaksanakan kampanye, presiden-wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah, dilarang menggunakan fasilitas negara.
"Fasilitas negara yang dimaksud termasuk berbagai jenis fasilitas yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)," sebutnya.
Oleh karenanya Bawaslu Kab/Kota maupun Panwas kecamatan harus lebih fokus mengawasi isi konten disampaiakan saat reses, jika terbukti anggota DPRD Sumut aktif yang juga sebagai calon legislatif melakukan kampanye bisa dikenakan sanksi pidana. Selain mengawasi konten pesan yang disampaikan saat reses agar tidak berbau kampanye, Bawaslu juga harus mengawasi peredaran uang dan pemberian sembako kepada peserta kegiatan reses sebagai bentuk pengganti transport agar masyarakat yang dijumpai memilihnya kembali.
"Kami juga mengimbau kepada teman-teman JPPR Kab/Kota untuk memantau masa reses anggota DPRD Sumut ini, sebab masa reses ini rawan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye, kalau ditemukan adanya pelanggaran kampanye segera laporkan agar anggota DPRD Sumut yang melanggar tersebut dikenakan sanksi," tutup Darwin Sipahutar.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Sumatera Utara Darwin Sipahutar menyoroti banyaknya anggota DPRD Sumut yang mencalonkan kembali menjadi legislator pada pemilu 2019 dinilai lebih memilih untuk berkampanye dibanding menyerap aspirasi masyarakat saat reses. Hal ini sangat dimungkinkan menjadi bentuk pelanggaran kampanye dikarenakan masa kampanye pemilu 2019 yang bersamaan dengan agenda reses tersebut.
"Jika ini yang dilakukan oleh anggota DPRD petahana yang mencalonkan diri kembali maka ini termasuk pelanggaran dan tindak pidana pemilu," katanya.
Karena itu menurutnya, Bawaslu harus mengawasi masa reses anggota DPRD Sumut yang dimulai 15 - 22 Januari 2019. Jika kemudian dalam reses tersebut menawarkan diri untuk didukung dan pilih kembali pada pemilu mendatang juga termasuk pelanggaran kampanye, maka harus dapat dibedakan antara masa reses dengan masa kampanye.
"Reses itukan menyerap aspirasi di dapil masing-masing-masing yang hasilnya akan dilaporkan dalam rapat paripurna untuk diteruskan ke pemerintah daerah dalam bentuk pokok-pokok pikiran anggota DPRD Sumut sebagai bagian dalam perencanaan pembangunan, bukan malah berkampanye," sebutnya.
Ditambahkannya, undang-undang Pasal 280 Ayat 1 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Pelanggaran terhadap ketentuan itu dianggap tindak pidana pemilu, sementara Pasal 304 UU Pemilu juga mengatur, dalam melaksanakan kampanye, presiden-wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah, dilarang menggunakan fasilitas negara.
"Fasilitas negara yang dimaksud termasuk berbagai jenis fasilitas yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)," sebutnya.
Oleh karenanya Bawaslu Kab/Kota maupun Panwas kecamatan harus lebih fokus mengawasi isi konten disampaiakan saat reses, jika terbukti anggota DPRD Sumut aktif yang juga sebagai calon legislatif melakukan kampanye bisa dikenakan sanksi pidana. Selain mengawasi konten pesan yang disampaikan saat reses agar tidak berbau kampanye, Bawaslu juga harus mengawasi peredaran uang dan pemberian sembako kepada peserta kegiatan reses sebagai bentuk pengganti transport agar masyarakat yang dijumpai memilihnya kembali.
"Kami juga mengimbau kepada teman-teman JPPR Kab/Kota untuk memantau masa reses anggota DPRD Sumut ini, sebab masa reses ini rawan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye, kalau ditemukan adanya pelanggaran kampanye segera laporkan agar anggota DPRD Sumut yang melanggar tersebut dikenakan sanksi," tutup Darwin Sipahutar.