Dalam tiga hari terakhir, kata 'kudeta' menjadi kata yang menurut saya paling banyak disebut dalam perpolitikan Indonesia dan dunia. Di Indonesia ada istilah 'Kudeta Partai Demokrat' dan pembicaraan global tentu saja Kudeta militer terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi di Myanmar.
Dua kudeta yang maaf saya menyebutnya 'berbeda kasta' ini sama-sama menarik untuk diperdebatkan. Tapi saya lebih tertarik membahas soal Kudeta Partai Demokrat. Alasannya satu, 'bumbu' penyedapnya banyak. Jadi semua rasa bisa muncul.
Sebutlah misalnya bumbu dari versi Agus Harimurti Yudhoyono selaku Ketua Umum Partai Demokrat. Kader Demokrat ramai-ramai menyatakan loyal terhadap Partai Demokrat dibawah kepemimpinan putra sulung Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini. Mati-matian mereka membela mulai dari pembelaan lisan hingga bikin surat tertulis menyatakan kesetiaannya. Mereka menyebut kubu sebelah sebagai pengkhianat, karena mereka mendeteksi kudeta ini didalangi beberapa saudara separtai mereka.
Kubu yang lain juga tak kalah garang. Mereka menyebut ini trik dari AHY untuk menaikkan eletabilitas partai. Bumbu lain muncul yang ditandai dengan munculnya komentari dari kubu yang jelas terlihat berseberangan dengan Partai Demokrat. Mereka rame-rame menyebut ini trik lama yaitu menempatkan Partai Demokrat pada posisi yang terdzolimi sehingga akan mengundang simpati masyarakat.
Sampai disini saya sebenarnya kurang tertarik membahasnya. Karena konon katanya, politik emang begitu. Polemik harus diciptakan untuk satu tujuan yang bernama kepentingan.
Saya justru lebih tertarik membahas kudeta dari sisi orang ke orang dan atribut-atribut yang melekat pada mereka. Kalaulah benar kudeta itu karena adanya keinginan Moeldoko untuk mengambil alih tampuk pimpinan Partai Demokrat dari tangan AHY. Maka pada satu sisi ini bisa dibilang Jenderal mengkudeta Mayor.
Perlu diingat Moeldoko dan AHY adalah dua sosok yang sama-sama pernah berkarir di TNI. Moeldoko adalah mantan Panglima TNI dengan pangkat terakhir empat bintang di pundak alias Jenderal. Sedangkan, AHY mengakhiri karir di TNI dengan pangkat satu melati alias Mayor. Beda pangkatnya jauh. Kalau begitu bisa dibilang ini adalah jenderal mengkudeta mayor. Kok bisa?
Tetap bisa, karena ini politik yang daya magisnya kadang di luar nalar. Kalaupun harus ditautkan dengan Kudeta di Myanmar saya hanya melihat persamaannya terkait video viral senam itu.
Judul senamnya dibilang 'Ampun bang Jago'. Bisa jadi istilah ini tepat karena atributisasi personal belum tentu membuat kalah kuat dalam jabatan politik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved