20 Juni 2020 lalu, di bawah pokok cemara, ditemani hembusan angin pantai, tidak kurang 30 orang dari berbagai latar belakang tergabung dalam wadah Penyelenggara Pemilu di jajaran Provinsi Sumatera Utara, duduk bersama berhimpun di atas tikar yang menghampar dengan latar deburan ombak kecil dari Selat Malaka. Tercetus ide yang tak biasa, ketika seorang senior mencitakan sebuah karya tulis bersama untuk dicipta di penghujung tahun, sebagai persembahan dan dedikasi untuk umat. Sebagai Penyelenggara Pemilu yang sudah menjadi bagian dari pelaku sejarah perjalanan Pemilu Serentak 2019, tentu teramat sayang untuk tidak dapat menuangkan buah pikir dan pengalaman dalam sebuah bentuk tulisan. Agar perjalanan panjang persiapan dan pelaksanaan Pemilu yang baru pertama kali dilakukan secara serentak yakni Pemilihan Presiden dan Legislatif dapat mengabadi dan diwariskan bagi generasi insan cita selanjutnya. Terkenang jauh menembus dimensi waktu, ketika itu Kamis, 16 Juli 1970, Lafran Pane dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara di IKIP Yogyakarta dengan judul Perubahan Konstitusionil, mengutarakan jika ingin menganut sistem presidential secara tegas, lebih baik diubah saja pemilihan presiden. Tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat. Buah pikir pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tersebut baru terwujud nyata ketika MPR di bawah kepemimpinan Amien Rais yang juga kader HMI melakukan Perubahan Ketiga Amandemen UUD 1945 yang disahkan melalui Sidang Tahunan MPR pada November 2001. Tidak bisa dipungkiri, sejarah panjang perjalanan pemilihan langsung dan perkembangan demokrasi tak lepas dari kontribusi kader dan alumni hijau hitam. Karena itu ada kewajiban melekat untuk dapat mengawal dan menjaga perjalanan sistem demokrasi di Indonesia tetap sesuai ruh dan cita-cita para pendiri bangsa. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 22 E, mengatur tentang keberadaan Lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dalam Undang-Undang (UU) Pemilu No 7 Tahun 2017, Pasal 2 disebutkan, penyelenggara Pemilu harus berprinsip pada asas mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien. Asas mandiri menjadi yang pertama disebut dan termaktub pula secara spesifik dalam UUD 1945. Pentingnya prinsip kemandirian menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dalam Peraturan KPU No 8 Tahun 2019, Pasal 77, ada 7 poin penjabaran dari prinsip mandiri yang harus dipegang antaralain ; harus netral, menghindari intervensi dalam pengambilan keputusan, tidak mengeluarkan pendapat yang berpihak pada peserta Pemilu. Dalam pedoman perilaku Penyelenggara Pemilu yang diatur pada Pasal 8, Peraturan DKPP No 2/2017, disebutkan ada 12 poin yang harus dipatuhi dalam bertindak dan bersikap untuk melaksanakan prinsip mandiri bagi Penyelenggara Pemilu yang antaralain adalah; netral atau tidak memihak terhadap peserta Pemilu; menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari intervensi pihak lain; tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses Pemilu; tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan dengan peserta Pemilu, tim kampanye; tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau peserta Pemilu tertentu; tidak memberitahukan pilihan politiknya secara terbuka dan tidak menanyakan pilihan politik kepada orang lain; tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun dari peserta Pemilu, calon peserta Pemilu, perusahaan atau individu yang dapat menimbulkan keuntungan dari keputusan lembaga Penyelenggara Pemilu; dan sebagainya. Aturan yang melekat sungguh luar biasa. Karena itu tak jarang banyak pihak menyebutkan seseorang yang punya niat untuk menjadi Penyelenggara Pemilu, maka dia harus siap untuk tidak lagi menjalani kehidupan yang normal dalam bersikap dan bertindak. Semua mata memandang dan mengawasi, sebab Penyelenggara Pemilu dituntut punya integritas sejak di hati dan melayani dengan nurani. Maka tak jarang pula banyak yang kalah dan berguguran ketika Penyelenggara Pemilu dihadapkan dengan prinsip kemandirian dan integritas. Karena hatinya tak siap, dan nuraninya belum kuat. Dibutuhkan insan cita berhati bersih dan bernurani kuat untuk dapat mengawal dan menegakkan prinsip demokrasi yang berkualitas. Jika Pemilu Serentak 2019 lalu telah usai kita lalui dengan beragam catatan, maka tantangan di depan tak kalah lebih rumit ketika Pilkada Serentak 2020 harus berjalan di masa pandemic corona virus disease 2019 (covid-19) masih mewabah. Penyelenggara Pemilu kali ini seakan terus dituntut untuk menciptakan sejarah baru dalam sistem demokrasi bangsa. Tuntutan tersebut tentu bukan sesuatu yang berlebihan bagi yang terbiasa dengan misi insan cita hijau hitam yakni, sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.*** Penulis adalah Rinaldi Khair, Komisioner KPU Kota Medan Periode 2018-2023 yang juga pernah menjadi Ketua Umum HMI Komisariat FISIP USU Periode 2003-2004.
20 Juni 2020 lalu, di bawah pokok cemara, ditemani hembusan angin pantai, tidak kurang 30 orang dari berbagai latar belakang tergabung dalam wadah Penyelenggara Pemilu di jajaran Provinsi Sumatera Utara, duduk bersama berhimpun di atas tikar yang menghampar dengan latar deburan ombak kecil dari Selat Malaka. Tercetus ide yang tak biasa, ketika seorang senior mencitakan sebuah karya tulis bersama untuk dicipta di penghujung tahun, sebagai persembahan dan dedikasi untuk umat. Sebagai Penyelenggara Pemilu yang sudah menjadi bagian dari pelaku sejarah perjalanan Pemilu Serentak 2019, tentu teramat sayang untuk tidak dapat menuangkan buah pikir dan pengalaman dalam sebuah bentuk tulisan. Agar perjalanan panjang persiapan dan pelaksanaan Pemilu yang baru pertama kali dilakukan secara serentak yakni Pemilihan Presiden dan Legislatif dapat mengabadi dan diwariskan bagi generasi insan cita selanjutnya. Terkenang jauh menembus dimensi waktu, ketika itu Kamis, 16 Juli 1970, Lafran Pane dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara di IKIP Yogyakarta dengan judul Perubahan Konstitusionil, mengutarakan jika ingin menganut sistem presidential secara tegas, lebih baik diubah saja pemilihan presiden. Tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat. Buah pikir pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tersebut baru terwujud nyata ketika MPR di bawah kepemimpinan Amien Rais yang juga kader HMI melakukan Perubahan Ketiga Amandemen UUD 1945 yang disahkan melalui Sidang Tahunan MPR pada November 2001. Tidak bisa dipungkiri, sejarah panjang perjalanan pemilihan langsung dan perkembangan demokrasi tak lepas dari kontribusi kader dan alumni hijau hitam. Karena itu ada kewajiban melekat untuk dapat mengawal dan menjaga perjalanan sistem demokrasi di Indonesia tetap sesuai ruh dan cita-cita para pendiri bangsa. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 22 E, mengatur tentang keberadaan Lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dalam Undang-Undang (UU) Pemilu No 7 Tahun 2017, Pasal 2 disebutkan, penyelenggara Pemilu harus berprinsip pada asas mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien. Asas mandiri menjadi yang pertama disebut dan termaktub pula secara spesifik dalam UUD 1945. Pentingnya prinsip kemandirian menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dalam Peraturan KPU No 8 Tahun 2019, Pasal 77, ada 7 poin penjabaran dari prinsip mandiri yang harus dipegang antaralain ; harus netral, menghindari intervensi dalam pengambilan keputusan, tidak mengeluarkan pendapat yang berpihak pada peserta Pemilu. Dalam pedoman perilaku Penyelenggara Pemilu yang diatur pada Pasal 8, Peraturan DKPP No 2/2017, disebutkan ada 12 poin yang harus dipatuhi dalam bertindak dan bersikap untuk melaksanakan prinsip mandiri bagi Penyelenggara Pemilu yang antaralain adalah; netral atau tidak memihak terhadap peserta Pemilu; menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari intervensi pihak lain; tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses Pemilu; tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan dengan peserta Pemilu, tim kampanye; tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau peserta Pemilu tertentu; tidak memberitahukan pilihan politiknya secara terbuka dan tidak menanyakan pilihan politik kepada orang lain; tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun dari peserta Pemilu, calon peserta Pemilu, perusahaan atau individu yang dapat menimbulkan keuntungan dari keputusan lembaga Penyelenggara Pemilu; dan sebagainya. Aturan yang melekat sungguh luar biasa. Karena itu tak jarang banyak pihak menyebutkan seseorang yang punya niat untuk menjadi Penyelenggara Pemilu, maka dia harus siap untuk tidak lagi menjalani kehidupan yang normal dalam bersikap dan bertindak. Semua mata memandang dan mengawasi, sebab Penyelenggara Pemilu dituntut punya integritas sejak di hati dan melayani dengan nurani. Maka tak jarang pula banyak yang kalah dan berguguran ketika Penyelenggara Pemilu dihadapkan dengan prinsip kemandirian dan integritas. Karena hatinya tak siap, dan nuraninya belum kuat. Dibutuhkan insan cita berhati bersih dan bernurani kuat untuk dapat mengawal dan menegakkan prinsip demokrasi yang berkualitas. Jika Pemilu Serentak 2019 lalu telah usai kita lalui dengan beragam catatan, maka tantangan di depan tak kalah lebih rumit ketika Pilkada Serentak 2020 harus berjalan di masa pandemic corona virus disease 2019 (covid-19) masih mewabah. Penyelenggara Pemilu kali ini seakan terus dituntut untuk menciptakan sejarah baru dalam sistem demokrasi bangsa. Tuntutan tersebut tentu bukan sesuatu yang berlebihan bagi yang terbiasa dengan misi insan cita hijau hitam yakni, sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.*** Penulis adalah Rinaldi Khair, Komisioner KPU Kota Medan Periode 2018-2023 yang juga pernah menjadi Ketua Umum HMI Komisariat FISIP USU Periode 2003-2004.© Copyright 2024, All Rights Reserved