Dari percakapan dengan putra Tariganu, menurut rencana jenasah disemayamkan di kediamannya di bilangan Ciracas, Jakarta Timur.
\"Setelah itu, rencananya, Jumat akan diterbangkan ke Medan untuk selanjutnya diacara adatkan di Kabanjahe dan dimakamkan di sana,\" lanjut Boy Kadri kepada RMOLSumut, Rabu (3/4).
Tariganu yang dikenal sebagai penyair Pincala adalah seorang seniman, pelukis, sastrawan, penyair, dan deklamator, juga seorang sinolog.
Di Tahun 1960an, beliau sempat menuntut ilmu ke Universitas Beijing, Tiongkok untuk kemujian menjadi asisten dosen bahasa Tiongkok di Universitas Indonesia setelah pulang ke tanah air.
Sejumlah tulisannya di tahun 1950 an ramai menghiasi media di Medan dengan nama pena RG Perbegu.
Setahun sebelum meletusnya peristiwa 1965, Tariganu sempat menuliskan antologi puisinya yang diterbitkan Balai Pustaka 1964 yang berjudul \"Kemudikan Hari Menjadi Cerah\".
Setahun kemudian, dia sempat mengirimkan naskah-naskah Puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Tiongkok. Sayang naskah-naskah itu tak pernah dibukukan karena percetakan tempat Tariganu menitipkan naskah-nasakahnya dibakar pasca kerusuhan 1965.
Meski sempat menghilang karena hiruk pikuk politik di tanah air pada masa itu, Tariganu akhirnya kembali menerbitkan kumpulan puisi \"Elang\" dan \"Anggrek Hitam\" pada Tahun 1971. Menyusul \"Menghadap Matahari\" yang diterbitkan di tahun yang sama.
Sepuluh tahun kemudian, buku kelimanya, \"Ritus Warna, Ritus Kata\" lahir.
Pincala yang diterbitkan Hasta Mitra pada 2004 menjadi buku keenam. Kumpulan puisi itu ditulis dalam bahasa ibu, Tariganu.
Pincala menjadi salah satu buku yang banyak diperbincangan khususnya komunitas masayrakat Karo dan akademisi bahasa daerah di Universitas Sumatera Utara. Buku yang ditulis Tariganu ini mengeksplorasi dan merevitalisasi sejumlah kosa kata yang menghilang dari masyarakat karo.
Selain itu, beberapa judul yang ada di dalam kumpulan puisi ini dimusikalisasi oleh seniman Limbeng dan populer dinyanyikan oleh Tio Fanta.
Belum habis dengan keindahan bahasa nenek moyangnya, Tariganu kembali mengeluarkan buku keenamnya \"Bunga Dawa\" yang diterbitkan Hasta Mitra. Buku ini menjadi pamungkas Tariganu di dunia sastra.
Tariganu tak hanya piawai mengukir kata-kata, beliau juga seorang pelukis. Sejumlah karya lukisnya kerap ikut dalam pameran kolektif bersama pelukis-pelukis top nasional.
Tariganu juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Bengkel Seni 78. [hta]
" itemprop="description"/>
Dari percakapan dengan putra Tariganu, menurut rencana jenasah disemayamkan di kediamannya di bilangan Ciracas, Jakarta Timur.
\"Setelah itu, rencananya, Jumat akan diterbangkan ke Medan untuk selanjutnya diacara adatkan di Kabanjahe dan dimakamkan di sana,\" lanjut Boy Kadri kepada RMOLSumut, Rabu (3/4).
Tariganu yang dikenal sebagai penyair Pincala adalah seorang seniman, pelukis, sastrawan, penyair, dan deklamator, juga seorang sinolog.
Di Tahun 1960an, beliau sempat menuntut ilmu ke Universitas Beijing, Tiongkok untuk kemujian menjadi asisten dosen bahasa Tiongkok di Universitas Indonesia setelah pulang ke tanah air.
Sejumlah tulisannya di tahun 1950 an ramai menghiasi media di Medan dengan nama pena RG Perbegu.
Setahun sebelum meletusnya peristiwa 1965, Tariganu sempat menuliskan antologi puisinya yang diterbitkan Balai Pustaka 1964 yang berjudul \"Kemudikan Hari Menjadi Cerah\".
Setahun kemudian, dia sempat mengirimkan naskah-naskah Puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Tiongkok. Sayang naskah-naskah itu tak pernah dibukukan karena percetakan tempat Tariganu menitipkan naskah-nasakahnya dibakar pasca kerusuhan 1965.
Meski sempat menghilang karena hiruk pikuk politik di tanah air pada masa itu, Tariganu akhirnya kembali menerbitkan kumpulan puisi \"Elang\" dan \"Anggrek Hitam\" pada Tahun 1971. Menyusul \"Menghadap Matahari\" yang diterbitkan di tahun yang sama.
Sepuluh tahun kemudian, buku kelimanya, \"Ritus Warna, Ritus Kata\" lahir.
Pincala yang diterbitkan Hasta Mitra pada 2004 menjadi buku keenam. Kumpulan puisi itu ditulis dalam bahasa ibu, Tariganu.
Pincala menjadi salah satu buku yang banyak diperbincangan khususnya komunitas masayrakat Karo dan akademisi bahasa daerah di Universitas Sumatera Utara. Buku yang ditulis Tariganu ini mengeksplorasi dan merevitalisasi sejumlah kosa kata yang menghilang dari masyarakat karo.
Selain itu, beberapa judul yang ada di dalam kumpulan puisi ini dimusikalisasi oleh seniman Limbeng dan populer dinyanyikan oleh Tio Fanta.
Belum habis dengan keindahan bahasa nenek moyangnya, Tariganu kembali mengeluarkan buku keenamnya \"Bunga Dawa\" yang diterbitkan Hasta Mitra. Buku ini menjadi pamungkas Tariganu di dunia sastra.
Tariganu tak hanya piawai mengukir kata-kata, beliau juga seorang pelukis. Sejumlah karya lukisnya kerap ikut dalam pameran kolektif bersama pelukis-pelukis top nasional.
Tariganu juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Bengkel Seni 78. [hta]
"/>
Dari percakapan dengan putra Tariganu, menurut rencana jenasah disemayamkan di kediamannya di bilangan Ciracas, Jakarta Timur.
\"Setelah itu, rencananya, Jumat akan diterbangkan ke Medan untuk selanjutnya diacara adatkan di Kabanjahe dan dimakamkan di sana,\" lanjut Boy Kadri kepada RMOLSumut, Rabu (3/4).
Tariganu yang dikenal sebagai penyair Pincala adalah seorang seniman, pelukis, sastrawan, penyair, dan deklamator, juga seorang sinolog.
Di Tahun 1960an, beliau sempat menuntut ilmu ke Universitas Beijing, Tiongkok untuk kemujian menjadi asisten dosen bahasa Tiongkok di Universitas Indonesia setelah pulang ke tanah air.
Sejumlah tulisannya di tahun 1950 an ramai menghiasi media di Medan dengan nama pena RG Perbegu.
Setahun sebelum meletusnya peristiwa 1965, Tariganu sempat menuliskan antologi puisinya yang diterbitkan Balai Pustaka 1964 yang berjudul \"Kemudikan Hari Menjadi Cerah\".
Setahun kemudian, dia sempat mengirimkan naskah-naskah Puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Tiongkok. Sayang naskah-naskah itu tak pernah dibukukan karena percetakan tempat Tariganu menitipkan naskah-nasakahnya dibakar pasca kerusuhan 1965.
Meski sempat menghilang karena hiruk pikuk politik di tanah air pada masa itu, Tariganu akhirnya kembali menerbitkan kumpulan puisi \"Elang\" dan \"Anggrek Hitam\" pada Tahun 1971. Menyusul \"Menghadap Matahari\" yang diterbitkan di tahun yang sama.
Sepuluh tahun kemudian, buku kelimanya, \"Ritus Warna, Ritus Kata\" lahir.
Pincala yang diterbitkan Hasta Mitra pada 2004 menjadi buku keenam. Kumpulan puisi itu ditulis dalam bahasa ibu, Tariganu.
Pincala menjadi salah satu buku yang banyak diperbincangan khususnya komunitas masayrakat Karo dan akademisi bahasa daerah di Universitas Sumatera Utara. Buku yang ditulis Tariganu ini mengeksplorasi dan merevitalisasi sejumlah kosa kata yang menghilang dari masyarakat karo.
Selain itu, beberapa judul yang ada di dalam kumpulan puisi ini dimusikalisasi oleh seniman Limbeng dan populer dinyanyikan oleh Tio Fanta.
Belum habis dengan keindahan bahasa nenek moyangnya, Tariganu kembali mengeluarkan buku keenamnya \"Bunga Dawa\" yang diterbitkan Hasta Mitra. Buku ini menjadi pamungkas Tariganu di dunia sastra.
Tariganu tak hanya piawai mengukir kata-kata, beliau juga seorang pelukis. Sejumlah karya lukisnya kerap ikut dalam pameran kolektif bersama pelukis-pelukis top nasional.
Tariganu juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Bengkel Seni 78. [hta]
Seniman dan penyair Usaha Tarigan atau populer dikenal sebagai Tariganu, Selasa (2/4) pukul 20.00 Wib tutup usia.
Penyair kelahiran Kabanjahe 9 Oktober 1938 itu wafat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta, setelah sebelumnya dililit sejumlah penyakit.
"Dapat kabar dari anaknya, Bang Yayan, Bapak sudah tiada malam tadi," kata Kadri Boy Tarigan, salah seorang kerabat Tariganu.
Dari percakapan dengan putra Tariganu, menurut rencana jenasah disemayamkan di kediamannya di bilangan Ciracas, Jakarta Timur.
"Setelah itu, rencananya, Jumat akan diterbangkan ke Medan untuk selanjutnya diacara adatkan di Kabanjahe dan dimakamkan di sana," lanjut Boy Kadri kepada RMOLSumut, Rabu (3/4).
Tariganu yang dikenal sebagai penyair Pincala adalah seorang seniman, pelukis, sastrawan, penyair, dan deklamator, juga seorang sinolog.
Di Tahun 1960an, beliau sempat menuntut ilmu ke Universitas Beijing, Tiongkok untuk kemujian menjadi asisten dosen bahasa Tiongkok di Universitas Indonesia setelah pulang ke tanah air.
Sejumlah tulisannya di tahun 1950 an ramai menghiasi media di Medan dengan nama pena RG Perbegu.
Setahun sebelum meletusnya peristiwa 1965, Tariganu sempat menuliskan antologi puisinya yang diterbitkan Balai Pustaka 1964 yang berjudul "Kemudikan Hari Menjadi Cerah".
Setahun kemudian, dia sempat mengirimkan naskah-naskah Puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Tiongkok. Sayang naskah-naskah itu tak pernah dibukukan karena percetakan tempat Tariganu menitipkan naskah-nasakahnya dibakar pasca kerusuhan 1965.
Meski sempat menghilang karena hiruk pikuk politik di tanah air pada masa itu, Tariganu akhirnya kembali menerbitkan kumpulan puisi "Elang" dan "Anggrek Hitam" pada Tahun 1971. Menyusul "Menghadap Matahari" yang diterbitkan di tahun yang sama.
Sepuluh tahun kemudian, buku kelimanya, "Ritus Warna, Ritus Kata" lahir.
Pincala yang diterbitkan Hasta Mitra pada 2004 menjadi buku keenam. Kumpulan puisi itu ditulis dalam bahasa ibu, Tariganu.
Pincala menjadi salah satu buku yang banyak diperbincangan khususnya komunitas masayrakat Karo dan akademisi bahasa daerah di Universitas Sumatera Utara. Buku yang ditulis Tariganu ini mengeksplorasi dan merevitalisasi sejumlah kosa kata yang menghilang dari masyarakat karo.
Selain itu, beberapa judul yang ada di dalam kumpulan puisi ini dimusikalisasi oleh seniman Limbeng dan populer dinyanyikan oleh Tio Fanta.
Belum habis dengan keindahan bahasa nenek moyangnya, Tariganu kembali mengeluarkan buku keenamnya "Bunga Dawa" yang diterbitkan Hasta Mitra. Buku ini menjadi pamungkas Tariganu di dunia sastra.
Tariganu tak hanya piawai mengukir kata-kata, beliau juga seorang pelukis. Sejumlah karya lukisnya kerap ikut dalam pameran kolektif bersama pelukis-pelukis top nasional.
Tariganu juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Bengkel Seni 78. [hta]
Seniman dan penyair Usaha Tarigan atau populer dikenal sebagai Tariganu, Selasa (2/4) pukul 20.00 Wib tutup usia.
Penyair kelahiran Kabanjahe 9 Oktober 1938 itu wafat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta, setelah sebelumnya dililit sejumlah penyakit.
"Dapat kabar dari anaknya, Bang Yayan, Bapak sudah tiada malam tadi," kata Kadri Boy Tarigan, salah seorang kerabat Tariganu.
Dari percakapan dengan putra Tariganu, menurut rencana jenasah disemayamkan di kediamannya di bilangan Ciracas, Jakarta Timur.
"Setelah itu, rencananya, Jumat akan diterbangkan ke Medan untuk selanjutnya diacara adatkan di Kabanjahe dan dimakamkan di sana," lanjut Boy Kadri kepada RMOLSumut, Rabu (3/4).
Tariganu yang dikenal sebagai penyair Pincala adalah seorang seniman, pelukis, sastrawan, penyair, dan deklamator, juga seorang sinolog.
Di Tahun 1960an, beliau sempat menuntut ilmu ke Universitas Beijing, Tiongkok untuk kemujian menjadi asisten dosen bahasa Tiongkok di Universitas Indonesia setelah pulang ke tanah air.
Sejumlah tulisannya di tahun 1950 an ramai menghiasi media di Medan dengan nama pena RG Perbegu.
Setahun sebelum meletusnya peristiwa 1965, Tariganu sempat menuliskan antologi puisinya yang diterbitkan Balai Pustaka 1964 yang berjudul "Kemudikan Hari Menjadi Cerah".
Setahun kemudian, dia sempat mengirimkan naskah-naskah Puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Tiongkok. Sayang naskah-naskah itu tak pernah dibukukan karena percetakan tempat Tariganu menitipkan naskah-nasakahnya dibakar pasca kerusuhan 1965.
Meski sempat menghilang karena hiruk pikuk politik di tanah air pada masa itu, Tariganu akhirnya kembali menerbitkan kumpulan puisi "Elang" dan "Anggrek Hitam" pada Tahun 1971. Menyusul "Menghadap Matahari" yang diterbitkan di tahun yang sama.
Sepuluh tahun kemudian, buku kelimanya, "Ritus Warna, Ritus Kata" lahir.
Pincala yang diterbitkan Hasta Mitra pada 2004 menjadi buku keenam. Kumpulan puisi itu ditulis dalam bahasa ibu, Tariganu.
Pincala menjadi salah satu buku yang banyak diperbincangan khususnya komunitas masayrakat Karo dan akademisi bahasa daerah di Universitas Sumatera Utara. Buku yang ditulis Tariganu ini mengeksplorasi dan merevitalisasi sejumlah kosa kata yang menghilang dari masyarakat karo.
Selain itu, beberapa judul yang ada di dalam kumpulan puisi ini dimusikalisasi oleh seniman Limbeng dan populer dinyanyikan oleh Tio Fanta.
Belum habis dengan keindahan bahasa nenek moyangnya, Tariganu kembali mengeluarkan buku keenamnya "Bunga Dawa" yang diterbitkan Hasta Mitra. Buku ini menjadi pamungkas Tariganu di dunia sastra.
Tariganu tak hanya piawai mengukir kata-kata, beliau juga seorang pelukis. Sejumlah karya lukisnya kerap ikut dalam pameran kolektif bersama pelukis-pelukis top nasional.
Tariganu juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Bengkel Seni 78. [hta]