Riuh soal hasil seleksi menjadi seorang komisioner pada lembaga publik kembali terjadi di Sumatera Utara. Setelah sebelumnya riuh soal hasil seleksi calon Komisioner Informasi Publik (KIP) Sumatera Utara, kali ini hasil seleksi calon komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Utara juga tak kalah riuh.
Sejak tujuh nama terpilih dimunculkan ke media pada Sabtu, 22 Januari 2022 dini hari, praktis permintaan agar penetapan tujuh nama terpilih juga langsung mencuat. Bukan dari pihak luar, melainkan dari sesama anggota dewan yang duduk di Komisi A DPRD Sumatera Utara.
Pertanyaannya kok, nggak satu suara? ini pertanyaan menarik menurut saya. Dan jawaban juga sebenarnya simpel mengingat Komisi A diisi oleh orang-orang yang membawa kepentingan politik partai mereka masing-masing.
Bukan membawa kepentingan dan martabat Sumatera Utara? Nah, sebenarnya pertanyaan lanjutan ini yang bisa lebih menohok jika merunut pada keriuhan yang mengikuti penetapan para peserta seleksi terpilih baik KIP Sumatera Utara maupun KPID Sumatera Utara.
Pada beberapa media, Ketua Komisi A DPRD Sumatera Utara, Hendro Susanto mengatakan bahwa 7 nama yang terpilih merupakan yang terbaik dari 21 peserta yang berkompeten. Ia juga menyebutkan jika 7 nama yang menjadi calon terpilih seleksi KPID itu lebih mengakomodir keberagaman yang ada di Sumatera Utara. Saya menangkap istilah keberagaman yang disebutkan Hendro adalah dari sisi keragaman agama, jenis kelamin dan lainnya. Hal yang mungkin tidak terakomodir secara penuh pada penetapan calon terpilih pada seleksi KIP beberapa waktu lalu yang juga hingga kini belum jelas juntrungnya.
Tentu pernyataan Hendro ini tidak salah dan benar adanya. Namun jika dikomparasikan dengan pernyataan dari beberapa anggota Komisi A DPRD Sumut lainnya yang menolak terpilihnya 7 nama tersebut, hal ini tentu menguak banyak hal.
Sebut saja pernyataan dari anggota Komisi A DPRD Sumut Meryl Rouli Saragih dan Tuani Lumbantobing yang mempertanyakan apa dasar dari skoring terhadap para peserta seleksi yang mengikuti uji kepatutan dan kelayakan. Tolak ukurnya yang tidak jelas, membuat mereka sangat keberatan 7 nama tersebut disebut yang paling kompeten dan ditetapkan sebagai calon terpilih.
Tentu semua publik sudah mengetahui bagaimana alotnya perdebatan yang terjadi di Komisi A DPRD Sumut dalam penentukan 7 nama itu. Sejumlah rekaman video sudah memperlihatkan apa yang terjadi.
Yang membuat saya miris justru adalah keriuhan yang selalu muncul mengiringi pengumumna nama-nama calon terpilih baik dari seleksi KIP Sumut maupun seleksi KPID Sumut. Keriuhan di seleksi KIP Sumut disebut terjadi setelah tidak adanya tolak ukur dalam menetapkan 5 calon terpilih. Sedangkan keriuhan pada seleksi KPID Sumut disebut karena adanya penilaian tanpa dasar yang jelas.
Saya jadi teringat isu yang dihembuskan pada saat penetapan calon terpilih di KIP, muncul isu bahwa disana ada lobi politik yang kuat dimana partai-partai besar hanya mendudukkan 'barang' mereka. Jatah mendudukkan 'barang' parpol lain yang tidak kebagian tempat duduk di seleksi KIP ya pada KPID ini. Isu yang menurut saya tak ubahnya seperti membicarakan kentut, baunya terasa namun membuktikannya sangat sulit.
Tapi kalau itu yang terjadi, maka hal yang perlu dipertanyakan adalah apakah hasil seleksi KPID Sumut ini masih didasarkan pada kebutuhan akan kompetensi atau hanya rekonsiliasi parpol di komisi? entahlah.***
© Copyright 2024, All Rights Reserved