Ketua Kadin Sumut Firsal Dida Mutyara mengajak pengusaha lokal untuk tetap masuk ke bisnis sawit dengan berinvestasi walaupun banyak sekali pro kontra yang muncul di Uni Eropa terkait komoditas tersebut.
“Sawit itu untuk dibakar dan untuk dimakan. Jadi menjadi jalan untuk ketahanan pangan dan ketahanan energi,” kata dia.
Hal itu disampaikannya ketika berbincang dengan media di kantornya, kemarin.
“Ya masalah sawit ini tetap saja ribut akibat blok UE dan sertifikasi lahan sawit. Tapi begitupun perusahaan dari UE malah terus masuk ke perkebunan sawit di Sumut,” katanya.
Dia mencontohkan masuknya Unilever misalnya itu menjadi pertanda bahwa bahan baku sawit ini masih dibutuhkan di Eropa.
“Mereka malah mampu hadir sektor hulu dan hilir sehingga pasar dikuasai,” jelasnya.
Menurut dia, bisnis ini masih prospek karena tetap bisa ekspor walau banyak hambatan, misalnya dengan memanfaatkan transhipment atau menggunakan pelabuhan di negara yang punya hubungan bilateral dengan Eropa. Misalnya lewat Singapura, kata Firsal.
“Kontribusi sawit ini akan tetap tinggi ke depannya tidak hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri. Apa yang akan terjadi misalnya jika negara kita terus mendorong biofuel dengan kandungan 35 persen, 40 persen sampai 50 persen. Peran sawit di situ akan sangat tinggi,” ungkap Firsal.
Tapi hati-hati karena bisa berpengaruh besar terhadap ekspor akibat domestic market obligation (kewajiban pemenuhan lokal) akan bertambah sementara pasok di pasar internasional akan berkurang, kata ketua Kadin Sumut ini lagi.
Dalam analisisnya, konsumsi lokal akan terus meningkat dan jika itu terjadi harga sawit akan terlalu tinggi untuk ekspor.
“Sawit ini jadi bahan untuk dimakan dan dibakar. Dengan pertambahan jumlah penduduk yang akan mencapai dua kali lipat 20 tahun lagi maka konsumsi komoditas sawit akan tinggi sekali. Otomatis jika kebutuhan lokal semakin besar tak akan bisa diekspor, harga di luar negeri akan sangat mahal.”
Solusinya, kata dia, tentu di perbaikan generasi sawit termasuk perbaikan bibit serta penanaman dan peningkatan kapasitas produksi lahan yang meningkat.
“Karena dengan sawit ini setidaknya menjadi upaya untuk mendorong ketahanan energi dan ketahanan pangan di dalam negeri,” tambahnya.
Dia mengatakan saat ini memang untuk membuka lahan baru tidak diizinkan karena ada moratorium namun dari lahan yang ada harus dimaksimalkan. “Selain itu penanganan peralihan lahan patut diperhatikan. Karena ada banyak konversi lahan kelas satu dan kelas dua menjadi tanaman sawit, padahal sebenarnya di lahan kelas tiga pun sudah bisa,” jelas Firsal.
“Bisnis ini tetap menarik bahkan untuk devisa negara pun akan tetap tinggi jika peluang ekspor terbuka. Hanya saja jika kita mendorong konsumsi dalam negeri tentu penerimaan devisa akan menurun,” jelasnya.
Firsal Dida Mutyara juga menyampaikan pandangannya soal pemanfaatan sawit untuk bahan bakar biofuel. “Peluang mengurangi impor bahan bakar bisa dicapai. Misalnya jika selama ini kita impor setengah kebutuhan pemakaian dalam negeri maka setidaknya perlahan ketergantungan itu semakin sedikit. Kalau setiap hari kita konsumsi 1,2 juta barel minyak per hari dan setengahnya adalah impor maka perlahan dikurangi karena kita memproduksi sendiri di dalam negeri dengan biofuel dari sawit.”
Untuk menjaga keberlangsungan dan produktivitas sawit yang ada sekarang dia berharap sebenarnya ada penyediaan bibit yang baik karena jika petani meremajakan tanaman dengan bibit kelas bawah dikuatirkan akan mempengaruhi ke produksi. “Bibit itu harusnya mutu terbaik dan mudah didapatkan dengan proses yang pendek,” kata dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved