Bukankah spiritualitas manusia itu terbangun berdasarkan lingkungan? Misalnya saja kita ambil contoh. Seorang anak Adam lahir dalam keadaan suci. Ia akan tetap tumbuh kesuciannya apabila ia selalu dididik dalam lingkungan yang memperkenalkan agama atau spiritualisme lainnya.
Begitupun sebaliknya, jika ia tidak didik atau terus menerus hidup didalam kehidupan yang non relijius, maka sampai ajal menjemput tunas spritualitasnya tak akan tumbuh dan berkembang.
Maka untuk itu manusia perlu berbagi\" ruang komunikasi\" yang sama dengan manusia lainnya, agar tumbuh tunas spritualitasnya. Karena dengan berinteraksi manusia dapat membangun solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya, yang merupakan basis utama spiritualitas anak Adam.
Namun, \"pelayuan\" tunas spritualitas dewasa ini sedikit demi sedikit terus berlangsung. Terkhusus, semenjak munculnya era masyarakat informasi.
Sarana sosial media seperti Facebook misalnya, telah mampu merontokkan fabrikasi sosial - spritualitas kita. Dimana, orang - orang hanya mampu berkomunikasi, dengan tidak bertemu langsung. Saling berinteraksi secara maya atau virtual, atau kasarnya semu.
Pada titik ini, sosmed telah menjadi \"mesin\" yang mampu memproduksi pengikisan basis utama spritualitas yakni : solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya.
Orang - orang tak bertemu langsung, sehingga bisa menutupi kebohongan atau kepalsuan. Menghina, menuding dan menghakimi tanpa berani bertemu fisik untuk menyatakan keberatan dan ketidaksukaan.
Bukankah agama (baca : Islam) itu dilahirkan untuk agar manusia bertatap muka secara langsung? Karena dengan bertatap muka secara langsung manusia dapat diketahui apakah ia berbohong, suka atau tidak suka, itu akan terlihat jelas dan nyata!
Dari proses tatap muka secara langsung agama mudah disampaikan. Maka itu, Islam dapat berkembang luas dahulu, dan menguasai sebagian dunia ini, karena disebabkan adanya penyebarannya melalui tatap muka langsung.
Sekarang apa yang terjadi? Kita tak lagi berinteraksi langsung. Kita bersembunyi dibalik medium yang membuat kita menjadi pengecut.
Kita bisa meludahi dan mengentuti orang dibalik layar android pada kanal facebook, tanpa bertemu muka. Bahkan kita bisa menyamarkan diri melalui akun palsu.
Akhirnya, kita menjadi manusia \"kerdil\" dalam interaksi face to face. Lihatlah contoh, kita begitu mudah menuduh sesama manusia, yang tak lain saudara kita juga, dengan julukan binatang (baca : kampret dan kecebong), tanpa mengetahui secara detail dan mendalam yang kita sematkan kepada mereka.
Kita menjudge orang difecebook seperti halnya mie ayam. Dimana ayam yang kita makan dimie ayam tersebut tidak seekor, melainkan potongan - potongannya. Yang disuwir - suwir.
Itulah kita menilai orang difacebook. Karena apa? Karena kita mengurangi intensitas tatap muka atau temu fisik didunia nyata. Hingga kita seperti potongan daging ayam pada mie ayam. Dan semakin parah.[top]
Penulis Adalah Advokat
" itemprop="description"/>
Bukankah spiritualitas manusia itu terbangun berdasarkan lingkungan? Misalnya saja kita ambil contoh. Seorang anak Adam lahir dalam keadaan suci. Ia akan tetap tumbuh kesuciannya apabila ia selalu dididik dalam lingkungan yang memperkenalkan agama atau spiritualisme lainnya.
Begitupun sebaliknya, jika ia tidak didik atau terus menerus hidup didalam kehidupan yang non relijius, maka sampai ajal menjemput tunas spritualitasnya tak akan tumbuh dan berkembang.
Maka untuk itu manusia perlu berbagi\" ruang komunikasi\" yang sama dengan manusia lainnya, agar tumbuh tunas spritualitasnya. Karena dengan berinteraksi manusia dapat membangun solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya, yang merupakan basis utama spiritualitas anak Adam.
Namun, \"pelayuan\" tunas spritualitas dewasa ini sedikit demi sedikit terus berlangsung. Terkhusus, semenjak munculnya era masyarakat informasi.
Sarana sosial media seperti Facebook misalnya, telah mampu merontokkan fabrikasi sosial - spritualitas kita. Dimana, orang - orang hanya mampu berkomunikasi, dengan tidak bertemu langsung. Saling berinteraksi secara maya atau virtual, atau kasarnya semu.
Pada titik ini, sosmed telah menjadi \"mesin\" yang mampu memproduksi pengikisan basis utama spritualitas yakni : solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya.
Orang - orang tak bertemu langsung, sehingga bisa menutupi kebohongan atau kepalsuan. Menghina, menuding dan menghakimi tanpa berani bertemu fisik untuk menyatakan keberatan dan ketidaksukaan.
Bukankah agama (baca : Islam) itu dilahirkan untuk agar manusia bertatap muka secara langsung? Karena dengan bertatap muka secara langsung manusia dapat diketahui apakah ia berbohong, suka atau tidak suka, itu akan terlihat jelas dan nyata!
Dari proses tatap muka secara langsung agama mudah disampaikan. Maka itu, Islam dapat berkembang luas dahulu, dan menguasai sebagian dunia ini, karena disebabkan adanya penyebarannya melalui tatap muka langsung.
Sekarang apa yang terjadi? Kita tak lagi berinteraksi langsung. Kita bersembunyi dibalik medium yang membuat kita menjadi pengecut.
Kita bisa meludahi dan mengentuti orang dibalik layar android pada kanal facebook, tanpa bertemu muka. Bahkan kita bisa menyamarkan diri melalui akun palsu.
Akhirnya, kita menjadi manusia \"kerdil\" dalam interaksi face to face. Lihatlah contoh, kita begitu mudah menuduh sesama manusia, yang tak lain saudara kita juga, dengan julukan binatang (baca : kampret dan kecebong), tanpa mengetahui secara detail dan mendalam yang kita sematkan kepada mereka.
Kita menjudge orang difecebook seperti halnya mie ayam. Dimana ayam yang kita makan dimie ayam tersebut tidak seekor, melainkan potongan - potongannya. Yang disuwir - suwir.
Itulah kita menilai orang difacebook. Karena apa? Karena kita mengurangi intensitas tatap muka atau temu fisik didunia nyata. Hingga kita seperti potongan daging ayam pada mie ayam. Dan semakin parah.[top]
Penulis Adalah Advokat
"/>
Bukankah spiritualitas manusia itu terbangun berdasarkan lingkungan? Misalnya saja kita ambil contoh. Seorang anak Adam lahir dalam keadaan suci. Ia akan tetap tumbuh kesuciannya apabila ia selalu dididik dalam lingkungan yang memperkenalkan agama atau spiritualisme lainnya.
Begitupun sebaliknya, jika ia tidak didik atau terus menerus hidup didalam kehidupan yang non relijius, maka sampai ajal menjemput tunas spritualitasnya tak akan tumbuh dan berkembang.
Maka untuk itu manusia perlu berbagi\" ruang komunikasi\" yang sama dengan manusia lainnya, agar tumbuh tunas spritualitasnya. Karena dengan berinteraksi manusia dapat membangun solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya, yang merupakan basis utama spiritualitas anak Adam.
Namun, \"pelayuan\" tunas spritualitas dewasa ini sedikit demi sedikit terus berlangsung. Terkhusus, semenjak munculnya era masyarakat informasi.
Sarana sosial media seperti Facebook misalnya, telah mampu merontokkan fabrikasi sosial - spritualitas kita. Dimana, orang - orang hanya mampu berkomunikasi, dengan tidak bertemu langsung. Saling berinteraksi secara maya atau virtual, atau kasarnya semu.
Pada titik ini, sosmed telah menjadi \"mesin\" yang mampu memproduksi pengikisan basis utama spritualitas yakni : solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya.
Orang - orang tak bertemu langsung, sehingga bisa menutupi kebohongan atau kepalsuan. Menghina, menuding dan menghakimi tanpa berani bertemu fisik untuk menyatakan keberatan dan ketidaksukaan.
Bukankah agama (baca : Islam) itu dilahirkan untuk agar manusia bertatap muka secara langsung? Karena dengan bertatap muka secara langsung manusia dapat diketahui apakah ia berbohong, suka atau tidak suka, itu akan terlihat jelas dan nyata!
Dari proses tatap muka secara langsung agama mudah disampaikan. Maka itu, Islam dapat berkembang luas dahulu, dan menguasai sebagian dunia ini, karena disebabkan adanya penyebarannya melalui tatap muka langsung.
Sekarang apa yang terjadi? Kita tak lagi berinteraksi langsung. Kita bersembunyi dibalik medium yang membuat kita menjadi pengecut.
Kita bisa meludahi dan mengentuti orang dibalik layar android pada kanal facebook, tanpa bertemu muka. Bahkan kita bisa menyamarkan diri melalui akun palsu.
Akhirnya, kita menjadi manusia \"kerdil\" dalam interaksi face to face. Lihatlah contoh, kita begitu mudah menuduh sesama manusia, yang tak lain saudara kita juga, dengan julukan binatang (baca : kampret dan kecebong), tanpa mengetahui secara detail dan mendalam yang kita sematkan kepada mereka.
Kita menjudge orang difecebook seperti halnya mie ayam. Dimana ayam yang kita makan dimie ayam tersebut tidak seekor, melainkan potongan - potongannya. Yang disuwir - suwir.
Itulah kita menilai orang difacebook. Karena apa? Karena kita mengurangi intensitas tatap muka atau temu fisik didunia nyata. Hingga kita seperti potongan daging ayam pada mie ayam. Dan semakin parah.[top]
RMOLSumut. Secara alamiah, manusia memiliki kemampuan intelektual. Manusia bisa saja hidup menyendiri tanpa interaksi dengan manusia lainnya. Dengan kemampuan intelektualnya manusia mampu beradaptasi dengan lingkungan alam, meskipun hanya sebentuk naluri (instinct), sebagaimana layaknya binatang.
Berbagai contoh kasus yang menguatkan teori ini, yang ternukil dalam sejarah, bahwa memang pernah ada manusia yang pernah hidup di hutan, bersama kawanan satwa liar. Seperti yang terjadi di Kamboja, India dan beberapa negara lainnya.
Dalam realitas ini, mungkin dapat dibenarkan bahwa manusia bisa tumbuh dan hidup tanpa interaksi dengan manusia lainnya.
Namun, apakah secara spiritual itu bisa? Menurut penulis itu sulit, bahkan cenderung tidak bisa. Mengapa? Karena manusia itu akan tumbuh "tunas spiritualnya" apabila manusia itu berinteraksi dengan manusia lainnya. Itu sebabnya ketika diciptaka nabi Adam as memerlukan manusia lainnya, yakni Siti hawa.
Bukankah spiritualitas manusia itu terbangun berdasarkan lingkungan? Misalnya saja kita ambil contoh. Seorang anak Adam lahir dalam keadaan suci. Ia akan tetap tumbuh kesuciannya apabila ia selalu dididik dalam lingkungan yang memperkenalkan agama atau spiritualisme lainnya.
Begitupun sebaliknya, jika ia tidak didik atau terus menerus hidup didalam kehidupan yang non relijius, maka sampai ajal menjemput tunas spritualitasnya tak akan tumbuh dan berkembang.
Maka untuk itu manusia perlu berbagi" ruang komunikasi" yang sama dengan manusia lainnya, agar tumbuh tunas spritualitasnya. Karena dengan berinteraksi manusia dapat membangun solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya, yang merupakan basis utama spiritualitas anak Adam.
Namun, "pelayuan" tunas spritualitas dewasa ini sedikit demi sedikit terus berlangsung. Terkhusus, semenjak munculnya era masyarakat informasi.
Sarana sosial media seperti Facebook misalnya, telah mampu merontokkan fabrikasi sosial - spritualitas kita. Dimana, orang - orang hanya mampu berkomunikasi, dengan tidak bertemu langsung. Saling berinteraksi secara maya atau virtual, atau kasarnya semu.
Pada titik ini, sosmed telah menjadi "mesin" yang mampu memproduksi pengikisan basis utama spritualitas yakni : solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya.
Orang - orang tak bertemu langsung, sehingga bisa menutupi kebohongan atau kepalsuan. Menghina, menuding dan menghakimi tanpa berani bertemu fisik untuk menyatakan keberatan dan ketidaksukaan.
Bukankah agama (baca : Islam) itu dilahirkan untuk agar manusia bertatap muka secara langsung? Karena dengan bertatap muka secara langsung manusia dapat diketahui apakah ia berbohong, suka atau tidak suka, itu akan terlihat jelas dan nyata!
Dari proses tatap muka secara langsung agama mudah disampaikan. Maka itu, Islam dapat berkembang luas dahulu, dan menguasai sebagian dunia ini, karena disebabkan adanya penyebarannya melalui tatap muka langsung.
Sekarang apa yang terjadi? Kita tak lagi berinteraksi langsung. Kita bersembunyi dibalik medium yang membuat kita menjadi pengecut.
Kita bisa meludahi dan mengentuti orang dibalik layar android pada kanal facebook, tanpa bertemu muka. Bahkan kita bisa menyamarkan diri melalui akun palsu.
Akhirnya, kita menjadi manusia "kerdil" dalam interaksi face to face. Lihatlah contoh, kita begitu mudah menuduh sesama manusia, yang tak lain saudara kita juga, dengan julukan binatang (baca : kampret dan kecebong), tanpa mengetahui secara detail dan mendalam yang kita sematkan kepada mereka.
Kita menjudge orang difecebook seperti halnya mie ayam. Dimana ayam yang kita makan dimie ayam tersebut tidak seekor, melainkan potongan - potongannya. Yang disuwir - suwir.
Itulah kita menilai orang difacebook. Karena apa? Karena kita mengurangi intensitas tatap muka atau temu fisik didunia nyata. Hingga kita seperti potongan daging ayam pada mie ayam. Dan semakin parah.[top]
Penulis Adalah Advokat
RMOLSumut. Secara alamiah, manusia memiliki kemampuan intelektual. Manusia bisa saja hidup menyendiri tanpa interaksi dengan manusia lainnya. Dengan kemampuan intelektualnya manusia mampu beradaptasi dengan lingkungan alam, meskipun hanya sebentuk naluri (instinct), sebagaimana layaknya binatang.
Berbagai contoh kasus yang menguatkan teori ini, yang ternukil dalam sejarah, bahwa memang pernah ada manusia yang pernah hidup di hutan, bersama kawanan satwa liar. Seperti yang terjadi di Kamboja, India dan beberapa negara lainnya.
Dalam realitas ini, mungkin dapat dibenarkan bahwa manusia bisa tumbuh dan hidup tanpa interaksi dengan manusia lainnya.
Namun, apakah secara spiritual itu bisa? Menurut penulis itu sulit, bahkan cenderung tidak bisa. Mengapa? Karena manusia itu akan tumbuh "tunas spiritualnya" apabila manusia itu berinteraksi dengan manusia lainnya. Itu sebabnya ketika diciptaka nabi Adam as memerlukan manusia lainnya, yakni Siti hawa.
Bukankah spiritualitas manusia itu terbangun berdasarkan lingkungan? Misalnya saja kita ambil contoh. Seorang anak Adam lahir dalam keadaan suci. Ia akan tetap tumbuh kesuciannya apabila ia selalu dididik dalam lingkungan yang memperkenalkan agama atau spiritualisme lainnya.
Begitupun sebaliknya, jika ia tidak didik atau terus menerus hidup didalam kehidupan yang non relijius, maka sampai ajal menjemput tunas spritualitasnya tak akan tumbuh dan berkembang.
Maka untuk itu manusia perlu berbagi" ruang komunikasi" yang sama dengan manusia lainnya, agar tumbuh tunas spritualitasnya. Karena dengan berinteraksi manusia dapat membangun solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya, yang merupakan basis utama spiritualitas anak Adam.
Namun, "pelayuan" tunas spritualitas dewasa ini sedikit demi sedikit terus berlangsung. Terkhusus, semenjak munculnya era masyarakat informasi.
Sarana sosial media seperti Facebook misalnya, telah mampu merontokkan fabrikasi sosial - spritualitas kita. Dimana, orang - orang hanya mampu berkomunikasi, dengan tidak bertemu langsung. Saling berinteraksi secara maya atau virtual, atau kasarnya semu.
Pada titik ini, sosmed telah menjadi "mesin" yang mampu memproduksi pengikisan basis utama spritualitas yakni : solidaritas, empati dan rasa kemanusiaan lainnya.
Orang - orang tak bertemu langsung, sehingga bisa menutupi kebohongan atau kepalsuan. Menghina, menuding dan menghakimi tanpa berani bertemu fisik untuk menyatakan keberatan dan ketidaksukaan.
Bukankah agama (baca : Islam) itu dilahirkan untuk agar manusia bertatap muka secara langsung? Karena dengan bertatap muka secara langsung manusia dapat diketahui apakah ia berbohong, suka atau tidak suka, itu akan terlihat jelas dan nyata!
Dari proses tatap muka secara langsung agama mudah disampaikan. Maka itu, Islam dapat berkembang luas dahulu, dan menguasai sebagian dunia ini, karena disebabkan adanya penyebarannya melalui tatap muka langsung.
Sekarang apa yang terjadi? Kita tak lagi berinteraksi langsung. Kita bersembunyi dibalik medium yang membuat kita menjadi pengecut.
Kita bisa meludahi dan mengentuti orang dibalik layar android pada kanal facebook, tanpa bertemu muka. Bahkan kita bisa menyamarkan diri melalui akun palsu.
Akhirnya, kita menjadi manusia "kerdil" dalam interaksi face to face. Lihatlah contoh, kita begitu mudah menuduh sesama manusia, yang tak lain saudara kita juga, dengan julukan binatang (baca : kampret dan kecebong), tanpa mengetahui secara detail dan mendalam yang kita sematkan kepada mereka.
Kita menjudge orang difecebook seperti halnya mie ayam. Dimana ayam yang kita makan dimie ayam tersebut tidak seekor, melainkan potongan - potongannya. Yang disuwir - suwir.
Itulah kita menilai orang difacebook. Karena apa? Karena kita mengurangi intensitas tatap muka atau temu fisik didunia nyata. Hingga kita seperti potongan daging ayam pada mie ayam. Dan semakin parah.[top]