DNA Gayo 100% Sama Dengan Karo? Benarkah? Bagaimana Dengan bahasanya?

Belakangan ada seseorang yang menyodorkan artikel surat kabar yang mengatakan bahwa menurut survei Balai Arkeologi Medan DNA Karo dan Gayo 100% sama. Membaca berita "sensasi" ini saya harus tersenyum. Soalnya DNA seorang ibu dengan anaknya saja tak mungkin 100% sama. Jadi kita tampaknya harus menunggu hingga data penelitian BALAR Medan keluar. Bahwa DNA Gayo dengan Karo atau Toba relatif mirip dapat dipastikan karena memang hidup berdekatan. 

Eratnya hubungan DNA tidak harus berarti bahwa bahasanya pun harus dekat. Namun, tampaknya banyak orang mengira bahwa bahasa Gayo sedemikian mirip dengan bahasa-bahasa Batak sehingga menjadi satu kelompok. Benarkah itu?

Jawaban saya, tidak benar. Barangkali anggapan tersebut karena banyak orang kira bahwa Gayo dengan Alas satu. Pada hal kedua bahasa sangat jauh berbeda.Alas memang berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Batak sehingga termasuk di dalam kelompok Batak. Namun Gayo tidak.

Semua bahasa yang dituturkan di Indonesia bagian barat saling berkerabat. Bahasa lain yang termasuk kerabat adalah Filipina, Maori, Hawai'i, Fiji, Malagassy, dan banyak bahasa lainnya yang semua termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa Austronesia yang tertua dituturkan di Taiwan karena memang di sanalah tempat asal bahasa-bahasa Austronesia. Sekitar 4500 tahun yang lalu penutur bahasa-bahasa Taiwan itu merantau ke selatan. Ke Filipina dulu, dan lalu ke Indonesia dan dari Indonesia timur mereka menyebar di seluruh Samudera Teduh. 

Cabang yang bermigrasi ke Indonesia bagian barat tersebar ke hampir seluruh Indonesia bagian barat, terutama Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pesisir Sumatera (Melayu), Aceh, dan Sumatera bagian selatan. 

Ada pula sebuah cabang yang mendiami Sumatera Utara, Alas, Gayo, Nias, dan Mentawai. Bahasa-bahasa tersebut dianggap berkerabat berdasarkan perubahan-perubahan fonetis (bunyi bahasa). Salah satu pakarnya adalah Profesor Nothofer dari Universitas Frankfurt. Menurut kajian beliau, bahasa-bahasa tadi semua berkerabat. 

Teori Nothofer masuk akal, khususnya dalam hal bahasa-bahasa Batak yang memang semuanya cukup mirip satu dengan lain dengan tingkat kesamaan di atas 70%. Satu-satunya suku non-Batak yang bahasanya termasuk bahasa-bahasa Batak adalah Alas. 

Setelah nenek moyang dari orang Alas, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba tiba di Sumatera Utara maka bahasa mereka berubah terus membentuk enam bahasa. Keenam bahasa tadi berubah menjadi dua cabang: cabang utara yang terdiri atas Alas, Karo, dan Pakpak, dan cabang selatan yang terdiri atas Simalungun, Toba, dan Mandailing. Kesamaan antar bahasa-bahasa di dalam sebuah cabang sangat tinggi – di atas 80%. Berarti tidak bisa langsung mengerti bahasa dari daerah yang lain, tetapi kalau berbicara pelan-pelan kita bisa memahami maksudnya. Namun kalau seorang penutur dari bahasa kelompok utara berbicara dengan penutur kelompok selatan maka percakapan pada umumnya tidak mungkin atau sangat sulit karena tingkat kesamaan terlalu rendah. 

Tingkat kesamaan Karo dengan Toba sekitar 70-75%. Artinya kedua bahasa berkerabat dekat walaupun tidak dapat saling dimengerti. Namun, orang Karo yang tinggal dekat wilayah poenuturan bahasa Simalungun biasanya bisa mengerti bahasanya, tetapi tidak mengerti bahasa Simalungun yang diturkan dekat dengan daerah penuturan Toba. Tetapi orang Simalungun yang tinggal dekat wilayah penuturan Toba umumnya mengerti bahasa Toba. Demikian juga orang Toba yang tinggal dekat Angkola mengerti bahasa Angkola, dan orang Angkola mengerti bahasa Manailing. Dengan demikian ada sebuah rantai yang semua mata rantai terkait.

Nah, kalau tingkat kesamaan dengan orang di luar wilayah bahasa-bahasa Batak lebih rendah. Karo dengan Melayu tingkat kesamaan hanya sekitar 30%. Artinya masih berkerabat tetapi kerabat jauh. Demikian juga, bahasa Karo dengan bahasa Jawa. Ada persamaan tetapi tidak terlalu banyak. Semakin jauh semakin sedikit kesamaan. Bahasa Karo dengan bahasa Maori tingkat kesamaan di bawah 10%. Artinya masih berkerabat, tetapi kerabat sangat jauh. Namun bahasa Karo dengan bahasa Thai tingkat kesamaan 0%, artinya tidak berkerabat karena memang lain rumpun. 

Jadi, apakah Gayo, Nias, Mentawai masih dianggap stau kelompok dengan bahasa-bahasa Batak? Menurut Professor Nothoser, iya. Beliau mendasarkan teorinya pada perubahan bunyi yang menunjukkan persamaan. Namun, bila dilihat dari segi leksikon, tingkat kesamaan Nias dengan bahasa-bahasa Batak sangat rendah. Demikian juga dengan Mentawai. 

Bagaimana dengan Gayo. Gayo berbeda jauh dengan Alas. Namun, menurut distertasi Dardanilla Karo, Alas dan Gayo "merupakan tiga bahasa sekerabat yang erat relasi historisnya." Namun demikian tingkat kesamaan antara Gayo dan Karo hanya 43,5%, jadi tidak cukup dekat untuk memasukkan Gayo ke dalam kelompok-kelompok bahasa Batak. Tingkat kesamaan antara Gayo dan Alas pun tidak jauh lebih tinggi, hanya 52,5% (Dardanilla 2016:102). 

Untuk tingkat kesamaan bahasa Nias dengan bahasa Batak belum ada data yang dapat diandalkan. Sherly Novita dalam "Kekerabatan Kosa Kata Bahasa Karo, Bahasa Nias, dan Bahasa Simalungun di Kota Medan: Kajian Linguistik Historis Komparatif" di dalam LINGUISTIKA, Sept. 2018 memperhitungkan tingkat kesamaan 21%, tetapi data yang dikumpulkan menurut saya kurang dapat diandalkan. 

Kita harus menunggu hinga ada penelitian yang datanya lebih dapat diandalkan, tetapi untuk sementara tampaknya tingkat kesamaan Karo dengan Nias sangat rendah.***

Penulis adalah seorang peneliti bahasa, budaya dan sastra Batak berkebangsaan Jerman