Para pemohon menganggap pasal 114a PP RTRWN merusak tatanan hukum perencanaan tata ruang yang telah dibangun UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Pembolehan dalam pasal 114a PP RTRWN ini dianggap merusak tatanan hukum yang telah dibangun UU Tata Ruang, yang mengharapkan rencana tata ruang dibuat secara komplementer dan berjenjang.
Dwi Saung menceritakan, bagaimana pasal 114a telah beroperasi dalam konteks riil.
\"Ada proyek yang telah jelas cacat izinnya karena ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang daerah. Di perkara PLTU Cirebon 2, bahkan izin lingkungannya telah dinyatakan batal dan diperintahkan dicabut karena ketidaktaatan ruang. Tapi setelah dibatalkan pengadilan, pemerintah malah mengeluarkan lagi dengan dasar Pasal 114a PP RTRWN,†paparnya.
Ketua Harian KNTI, Marthin Hadiwinata menjelaskan, alasan lain pengajuan uji materiil ini terkait dengan dinafikannya proses yang seharusnya terintegrasi dengan penyusunan RTRW, khususnya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Selama ini nelayan tradisional telah dengan cara-cara yang terhormat, menggunakan instrumen hukum yang tersedia, demi ruang hidupnya yang terancam proyek infrastruktur mulai dari PLTU Batubara hingga tanggul laut raksasa dalam proyek NCICD termasuk mengawal segala perizinan pemanfaatan ruang dan KLHS,†ujar Martin.
Martin menegaskan, pasal 114a PP RTRWN tersebut menjadi jalan pintas memaksakan proyek tersebut dengan cara yang sewenang-wenang dan melanggar hak-hak nelayan atas tanah tempat tinggalnya dan wilayah perairan sebagai ruang hidupnya.
Permohonan uji materil ini didukung juga oleh beberapa individu dan organisasi masyarakat sipil, termasuk RUJAK For Center Urban Studies, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Direktur Eksekutif RUJAK For Center Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyayangkan nuansa sentralistik yang dibawa Pasal 114a.
Jikapun harapan pemerintah pusat agar ada pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam berbagai otorita ruang, tidak berarti jalan keluarnya hanya bisa sentralistik, melainkan pemerintah pusat seharusnya menfasilitasi kerja sama ketataruangan antar daerah,\" tutur Elisa.
Para pemohon berharap Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan semua alasan permohonan secara objektif dan mengabulkan permohonan uji materil itu.
Tim Advokasi Keadilan Ruang telah mengajukan permohonan keberatan terhadap Pasal 114A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Perubahan RTRWN) yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. Permohonan itu diajukan ke Mahkamah Agung pada Jumat (10/5) lalu
Pemerintah menghalalkan segala cara untuk menyelenggarakan pembangunan tanpa lagi memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,†tutup Elisa. [krm/rmol]
" itemprop="description"/>
Para pemohon menganggap pasal 114a PP RTRWN merusak tatanan hukum perencanaan tata ruang yang telah dibangun UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Pembolehan dalam pasal 114a PP RTRWN ini dianggap merusak tatanan hukum yang telah dibangun UU Tata Ruang, yang mengharapkan rencana tata ruang dibuat secara komplementer dan berjenjang.
Dwi Saung menceritakan, bagaimana pasal 114a telah beroperasi dalam konteks riil.
\"Ada proyek yang telah jelas cacat izinnya karena ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang daerah. Di perkara PLTU Cirebon 2, bahkan izin lingkungannya telah dinyatakan batal dan diperintahkan dicabut karena ketidaktaatan ruang. Tapi setelah dibatalkan pengadilan, pemerintah malah mengeluarkan lagi dengan dasar Pasal 114a PP RTRWN,†paparnya.
Ketua Harian KNTI, Marthin Hadiwinata menjelaskan, alasan lain pengajuan uji materiil ini terkait dengan dinafikannya proses yang seharusnya terintegrasi dengan penyusunan RTRW, khususnya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Selama ini nelayan tradisional telah dengan cara-cara yang terhormat, menggunakan instrumen hukum yang tersedia, demi ruang hidupnya yang terancam proyek infrastruktur mulai dari PLTU Batubara hingga tanggul laut raksasa dalam proyek NCICD termasuk mengawal segala perizinan pemanfaatan ruang dan KLHS,†ujar Martin.
Martin menegaskan, pasal 114a PP RTRWN tersebut menjadi jalan pintas memaksakan proyek tersebut dengan cara yang sewenang-wenang dan melanggar hak-hak nelayan atas tanah tempat tinggalnya dan wilayah perairan sebagai ruang hidupnya.
Permohonan uji materil ini didukung juga oleh beberapa individu dan organisasi masyarakat sipil, termasuk RUJAK For Center Urban Studies, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Direktur Eksekutif RUJAK For Center Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyayangkan nuansa sentralistik yang dibawa Pasal 114a.
Jikapun harapan pemerintah pusat agar ada pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam berbagai otorita ruang, tidak berarti jalan keluarnya hanya bisa sentralistik, melainkan pemerintah pusat seharusnya menfasilitasi kerja sama ketataruangan antar daerah,\" tutur Elisa.
Para pemohon berharap Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan semua alasan permohonan secara objektif dan mengabulkan permohonan uji materil itu.
Tim Advokasi Keadilan Ruang telah mengajukan permohonan keberatan terhadap Pasal 114A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Perubahan RTRWN) yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. Permohonan itu diajukan ke Mahkamah Agung pada Jumat (10/5) lalu
Pemerintah menghalalkan segala cara untuk menyelenggarakan pembangunan tanpa lagi memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,†tutup Elisa. [krm/rmol]
"/>
Para pemohon menganggap pasal 114a PP RTRWN merusak tatanan hukum perencanaan tata ruang yang telah dibangun UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Pembolehan dalam pasal 114a PP RTRWN ini dianggap merusak tatanan hukum yang telah dibangun UU Tata Ruang, yang mengharapkan rencana tata ruang dibuat secara komplementer dan berjenjang.
Dwi Saung menceritakan, bagaimana pasal 114a telah beroperasi dalam konteks riil.
\"Ada proyek yang telah jelas cacat izinnya karena ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang daerah. Di perkara PLTU Cirebon 2, bahkan izin lingkungannya telah dinyatakan batal dan diperintahkan dicabut karena ketidaktaatan ruang. Tapi setelah dibatalkan pengadilan, pemerintah malah mengeluarkan lagi dengan dasar Pasal 114a PP RTRWN,†paparnya.
Ketua Harian KNTI, Marthin Hadiwinata menjelaskan, alasan lain pengajuan uji materiil ini terkait dengan dinafikannya proses yang seharusnya terintegrasi dengan penyusunan RTRW, khususnya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Selama ini nelayan tradisional telah dengan cara-cara yang terhormat, menggunakan instrumen hukum yang tersedia, demi ruang hidupnya yang terancam proyek infrastruktur mulai dari PLTU Batubara hingga tanggul laut raksasa dalam proyek NCICD termasuk mengawal segala perizinan pemanfaatan ruang dan KLHS,†ujar Martin.
Martin menegaskan, pasal 114a PP RTRWN tersebut menjadi jalan pintas memaksakan proyek tersebut dengan cara yang sewenang-wenang dan melanggar hak-hak nelayan atas tanah tempat tinggalnya dan wilayah perairan sebagai ruang hidupnya.
Permohonan uji materil ini didukung juga oleh beberapa individu dan organisasi masyarakat sipil, termasuk RUJAK For Center Urban Studies, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Direktur Eksekutif RUJAK For Center Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyayangkan nuansa sentralistik yang dibawa Pasal 114a.
Jikapun harapan pemerintah pusat agar ada pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam berbagai otorita ruang, tidak berarti jalan keluarnya hanya bisa sentralistik, melainkan pemerintah pusat seharusnya menfasilitasi kerja sama ketataruangan antar daerah,\" tutur Elisa.
Para pemohon berharap Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan semua alasan permohonan secara objektif dan mengabulkan permohonan uji materil itu.
Tim Advokasi Keadilan Ruang telah mengajukan permohonan keberatan terhadap Pasal 114A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Perubahan RTRWN) yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. Permohonan itu diajukan ke Mahkamah Agung pada Jumat (10/5) lalu
Pemerintah menghalalkan segala cara untuk menyelenggarakan pembangunan tanpa lagi memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,†tutup Elisa. [krm/rmol]
RMOLSumut. Beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ruang mengajukan uji materiil terhadap Pasal 114a Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Nasional.
Permohonan hak uji materiil diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
Para pemohon mempermasalahkan Pasal 114a Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP RTRW Nasional), yang mengizinkan beberapa kegiatan yang tercantum dalam Lampiran PP RTRW Nasional untuk melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan pemerintah daerah kabupaten/kota maupun provinsi.
Salah seorang pemohon dari Walhi, Dwi Saung mengatakan, daftar proyek tersebut disinyalir erat kaitannya dengan proyek strategis nasional.
"Dengan pasal 114a PP RTRWN, proyek yang ada dalam Lampiran PP tersebut diizinkan mendapatkan izin pemanfaatan ruang sekalipun tidak ada dalam RTRW Kabupaten/Kota atau RTRW Provinsi,†tutur Dwi.
Para pemohon menganggap pasal 114a PP RTRWN merusak tatanan hukum perencanaan tata ruang yang telah dibangun UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Pembolehan dalam pasal 114a PP RTRWN ini dianggap merusak tatanan hukum yang telah dibangun UU Tata Ruang, yang mengharapkan rencana tata ruang dibuat secara komplementer dan berjenjang.
Dwi Saung menceritakan, bagaimana pasal 114a telah beroperasi dalam konteks riil.
"Ada proyek yang telah jelas cacat izinnya karena ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang daerah. Di perkara PLTU Cirebon 2, bahkan izin lingkungannya telah dinyatakan batal dan diperintahkan dicabut karena ketidaktaatan ruang. Tapi setelah dibatalkan pengadilan, pemerintah malah mengeluarkan lagi dengan dasar Pasal 114a PP RTRWN,†paparnya.
Ketua Harian KNTI, Marthin Hadiwinata menjelaskan, alasan lain pengajuan uji materiil ini terkait dengan dinafikannya proses yang seharusnya terintegrasi dengan penyusunan RTRW, khususnya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Selama ini nelayan tradisional telah dengan cara-cara yang terhormat, menggunakan instrumen hukum yang tersedia, demi ruang hidupnya yang terancam proyek infrastruktur mulai dari PLTU Batubara hingga tanggul laut raksasa dalam proyek NCICD termasuk mengawal segala perizinan pemanfaatan ruang dan KLHS,†ujar Martin.
Martin menegaskan, pasal 114a PP RTRWN tersebut menjadi jalan pintas memaksakan proyek tersebut dengan cara yang sewenang-wenang dan melanggar hak-hak nelayan atas tanah tempat tinggalnya dan wilayah perairan sebagai ruang hidupnya.
Permohonan uji materil ini didukung juga oleh beberapa individu dan organisasi masyarakat sipil, termasuk RUJAK For Center Urban Studies, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Direktur Eksekutif RUJAK For Center Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyayangkan nuansa sentralistik yang dibawa Pasal 114a.
Jikapun harapan pemerintah pusat agar ada pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam berbagai otorita ruang, tidak berarti jalan keluarnya hanya bisa sentralistik, melainkan pemerintah pusat seharusnya menfasilitasi kerja sama ketataruangan antar daerah," tutur Elisa.
Para pemohon berharap Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan semua alasan permohonan secara objektif dan mengabulkan permohonan uji materil itu.
Tim Advokasi Keadilan Ruang telah mengajukan permohonan keberatan terhadap Pasal 114A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Perubahan RTRWN) yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. Permohonan itu diajukan ke Mahkamah Agung pada Jumat (10/5) lalu
Pemerintah menghalalkan segala cara untuk menyelenggarakan pembangunan tanpa lagi memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,†tutup Elisa. [krm/rmol]
RMOLSumut. Beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ruang mengajukan uji materiil terhadap Pasal 114a Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Nasional.
Permohonan hak uji materiil diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
Para pemohon mempermasalahkan Pasal 114a Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP RTRW Nasional), yang mengizinkan beberapa kegiatan yang tercantum dalam Lampiran PP RTRW Nasional untuk melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan pemerintah daerah kabupaten/kota maupun provinsi.
Salah seorang pemohon dari Walhi, Dwi Saung mengatakan, daftar proyek tersebut disinyalir erat kaitannya dengan proyek strategis nasional.
"Dengan pasal 114a PP RTRWN, proyek yang ada dalam Lampiran PP tersebut diizinkan mendapatkan izin pemanfaatan ruang sekalipun tidak ada dalam RTRW Kabupaten/Kota atau RTRW Provinsi,†tutur Dwi.
Para pemohon menganggap pasal 114a PP RTRWN merusak tatanan hukum perencanaan tata ruang yang telah dibangun UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Pembolehan dalam pasal 114a PP RTRWN ini dianggap merusak tatanan hukum yang telah dibangun UU Tata Ruang, yang mengharapkan rencana tata ruang dibuat secara komplementer dan berjenjang.
Dwi Saung menceritakan, bagaimana pasal 114a telah beroperasi dalam konteks riil.
"Ada proyek yang telah jelas cacat izinnya karena ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang daerah. Di perkara PLTU Cirebon 2, bahkan izin lingkungannya telah dinyatakan batal dan diperintahkan dicabut karena ketidaktaatan ruang. Tapi setelah dibatalkan pengadilan, pemerintah malah mengeluarkan lagi dengan dasar Pasal 114a PP RTRWN,†paparnya.
Ketua Harian KNTI, Marthin Hadiwinata menjelaskan, alasan lain pengajuan uji materiil ini terkait dengan dinafikannya proses yang seharusnya terintegrasi dengan penyusunan RTRW, khususnya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Selama ini nelayan tradisional telah dengan cara-cara yang terhormat, menggunakan instrumen hukum yang tersedia, demi ruang hidupnya yang terancam proyek infrastruktur mulai dari PLTU Batubara hingga tanggul laut raksasa dalam proyek NCICD termasuk mengawal segala perizinan pemanfaatan ruang dan KLHS,†ujar Martin.
Martin menegaskan, pasal 114a PP RTRWN tersebut menjadi jalan pintas memaksakan proyek tersebut dengan cara yang sewenang-wenang dan melanggar hak-hak nelayan atas tanah tempat tinggalnya dan wilayah perairan sebagai ruang hidupnya.
Permohonan uji materil ini didukung juga oleh beberapa individu dan organisasi masyarakat sipil, termasuk RUJAK For Center Urban Studies, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Direktur Eksekutif RUJAK For Center Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyayangkan nuansa sentralistik yang dibawa Pasal 114a.
Jikapun harapan pemerintah pusat agar ada pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam berbagai otorita ruang, tidak berarti jalan keluarnya hanya bisa sentralistik, melainkan pemerintah pusat seharusnya menfasilitasi kerja sama ketataruangan antar daerah," tutur Elisa.
Para pemohon berharap Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan semua alasan permohonan secara objektif dan mengabulkan permohonan uji materil itu.
Tim Advokasi Keadilan Ruang telah mengajukan permohonan keberatan terhadap Pasal 114A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Perubahan RTRWN) yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah. Permohonan itu diajukan ke Mahkamah Agung pada Jumat (10/5) lalu
Pemerintah menghalalkan segala cara untuk menyelenggarakan pembangunan tanpa lagi memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,†tutup Elisa. [krm/rmol]