Jurnalis senior di Sumatera Utara, Choking Susilo Sakeh memastikan pers idealis tidak akan pernah mati. Namun begitu, tantangan terhadap mereka akan semakin kompleks terutama saat dikaitkan dengan kondisi pandemi covid-19, perkembangan teknologi dan juga ancaman kekerasan.
"Tantangan yang ada itu semakin kompleks karena ada pandemi covid-19, perkembangan teknologi informasi, ancaman kekerasan hingga rendahnya otokritik," katanya dalam Dialog Kebangsaan Hari Pers Nasional dengan tema ‘Pers Perjuangan, Antara Idealisme dan Komersialisme di Era Milenial’ yang diadakan Dewan Harian Daerah (DHD) Badan Pembudayaan Kejuangan 45, di Gedung Juang 45, Jalan Pemuda, Medan, Selasa (16/2).
Tntangan ini menurut Choking, harus mampu diatasi jika pers ingin tetap menjadi rujukan informasi utama yang dipercaya oleh masyarakat. Kolaborasi dan penguatan jaringan menjadi hal yang menurutnya penting untuk dilakukan.
"Kolaborasi antarmedia untuk menghasilkan berita yang dibutuhkan masyarakat. Ini penting untuk mengimbangi tulisan-tulisan di media sosial yang belum tentu kebenarannya," pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, sejarawan Unimed Ichwan Azhari menyampaikan, di masa lalu, pers memiliki ideologi yang tinggi termasuk melawan kolonialisme. Ia mencontohkan media Benih Merdeka yang terbit di Medan pada tahun 1916. Menurutnya Benih Merdeka sangat berani menamai korannya menggunakan kata Merdeka.
Ichwan juga menyebut Parada Harahap sebagai wartawan yang memiliki ideologi perjuangan. Parada Harahap pernah 12 kali masuk penjara sehingga disebut sebagai raja delik.
“Dulu koran dibuat sebagai alat pejuangan untuk menentang kolonialisme,” pungkasnya.
Sementara itu, Dosen FISIP USU Sakhyan Asmara menyebutkan, ada beberapa hal yang mempengaruhi independensi wartawan. Di antaranya tergerus oleh tuntutan mempertahankan hidup, terseret mengikuti selera pemilik modal, hingga terjebak kepada kepentingan berita yang dibingkai.
Selain itu ada beberapa hal yang menyebabkan independensi wartawan tidak berjalan. Di antaranya, penguasa begitu kuat, desentralisasi tidak berjalan atau kewenangan ditarik ke pusat. Jabatan strategis dalam suprasrtuktur politik dikuasai oleh partai atau koalisi partai penguasa.
“Serta para aktivis dibatasi gerakannya melalui pendekatan ekonomi atau pendekatan yang represif,” ungkapnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved