Kepalaku dipenuhi berbagai tali merentang, jembatan saling silang dan akar-akar merambat yang mengaitkan teks-teks dalam skenario Film Perik Sidua-dua dengan segala panorama di bentang kawasan Karo Vulkano Park. Keterhubungan antar peristiwa dan fenomena alam yang mempengaruhi tak dapat dielakkan. Tubuhku luruh di sebuah sistem yang bila divisualkan bagai rantai saling menyambungkan fakta-fakta dalam imaji diksi Perik Sidua-dua. Hari kedua perjalanan Tour The Karo Vulkano Park; aku makin jauh merasuk ke hal-hal tersirat dari setiap kata Perik Sidua-dua.
Hampir dipastikan agenda utama perjalanan selama lima hari di dataran tinggi tanah Karo meleset dari rencana yang sudah dimatangkan. Penentuannya sudah kami agendakan di Café Juma. Bila bule Karindo itu tak datang, harus bongkar ulang rencana yang sudah dirumuskan dan menyusun rencana baru. Ibarat kata; bila satu pintu tertutup, segera buka sepuluh pintu yang lain. Sebelumnya saya tidak tahu bila Café Juma dan Tongging berlainan arah. Setelah perjalanan; Tongging berada di kaki gunung Sipiso-piso, Café Juma berada di jalur menuju Kutacane, antara gunung Sibuaten dan gunung Sinabung.
Terjadilah drama itu, seharusnya agenda perjalanan hari kedua ke Tongging karena 30% lokasi scene ada di sana, namun melihat fakta di lapangan perjalanan diputar arah ke Café Juma. Improvisasi-improvisasi di lapangan yang dilakukan Benson Kaban menarik dan menantang. Ia seperti bajak laut berani mati, setiap langkah diperhitungkan, kemampuannya lihai memainkan gelombang tinggi dan kecamuk badai.
Putar arah bukan berarti kembali ke dermaga, kami bersama menggerakkan angin ke benua yang lebih menjanjikan. Peristiwa Columbus yang kesasar ke tanah orang-orang Indian tentunya jadi pelajaran berharga agar tidak terjadi pada tim produksi ini. Columbus yang awalnya mencari kawasan sumber rempah-rempah, yaitu nusantara, tertipu oleh pergerakan angin. Kami bukan Columbus, kami adalah petarung yang lihai menggerakkan kapal bercadik; mengukur sama panjang, menimbang sama berat.
Jalur ke Café Juma ternyata bisa tembus ke Kutacane dan terus ke tanah Gayo. Menyebut Gayo, mengingatkanku pada perjalanan Desember Kopi Gayo 2021 lalu yang diinisiasi Fikar W Eda dan Devie Matahari. Ada sebuah situs yang menguak nenek moyang dan leluhur kita, Situs Loyang Mendale. Sebuah ceruk yang menghadap ke Danau Lau Tawar, hunian gua dari peradaban masa Mesolitikum hingga Neolitikum. Konon, dari tanah Gayo inilah para leluhur menyebar ke dataran-dataran tinggi lainnya; membuka lahan, membangun kuta-kuta, menulis tarombo sesuai dengan merga-merga.
Menerobos tirai keterhubungan Gayo dan Karo mengarahkan pandangku pada deretan Bukit Barisan lalu lebih terfokus pada dua gunung yang posisinya tepat di belakang dan depan Café Juma; Sinabung dan Sibuaten. Perjalanan kami menuju Café Juma juga melewati hulu Lau Biang yang alur arusnya membentuk Sungai Wampu hingga menghilir ke Tanjung Pura sana. Dari jalur perjalanan dengan menapaki jejak-jejak leluhur inilah skenario Perik Sidua-dua dilahirkan, aku meyakini ada visi besar yang dilekatkan Hujan Tarigan pada dialog-dialog di skenario tersebut. Tentu ini membutuhkan tim produksi solid dan telaten serta aktor cerdas untuk mengungkap kedalaman skenario ini.
Baiklah, kami telah tiba di Café Juma. Interior dan eksterior kafe ini memadukan tradisi dan modern. Menjadi tempat yang nyaman bagi para perantau untuk menjemput kerinduan suasana kampung halaman, tapi juga jadi tempat yang bersahabat bagi warga sekitar untuk menikmati suasana café yang modis. Saya jadi teringat lokasi scene di skenario Perik Sidua-dua yang berulangkali ada; Kafenya si Eben jadi pusat kordinasi dan aktifitas Jilena menggerakkan teman-teman kampungnya untuk membangun usaha travel. Café Juma ini sungguh eksotik; separuh jiwa Perik Sidua-dua tervisual di sini.
Dari lantai dua Café Juma kita bisa menyaksikan gagahnya Sinabung yang sebagian tubuhnya masih terlihat bekas guguran lava erupsi. Sinabung menciptakan ekosistem kehidupan di sekelilingnya hingga dapat dirasakan sampai Café Juma. Kesohorannya sebagai salah satu taman gunung api di Kawasan Karo Vulkano Park mentorehkan berbagai folklore. Keindahan alam yang diasuh oleh nyala api menggelegak dari perutnya.
Dari pintu masuk Café Juma kita juga dapat memandang takjub keanggunan Sibuaten. Di lapisan gunung setelahnya terlihat pula deretan biru pegunungan yang berbaris-baris. Ini tanah Karo, tempat berkumpulnya gunung-gunung menyuburkan kehidupan. Induk dari sungai-sungai jadi jalur penyebaran peradaban hulu hilir.
Setelah menyaksikan gunung-gunung yang mengantarai Café Juma ini, sebuah ruang kesadaran kembali terbuka memaknai skenario Perik Sidua-dua. Tali-tali terajut, jembatan-jembatan terhubung dengan berbagai kebudayaan. Dari Café Juma kita bisa merasakan diaspora Karo yang rindu membangun kampung halaman, orang-orang gunung yang mencintai ajaran leluhurnya, anak-anak muda Karo yang ulet dan tak mau diam menghubungkan hulu hilir, kerja keras dan ketangguhan masyarakat Karo membangun dirinya.
Di tangga menuju lantai dua kafe, Jilena menatap kami. Ada nyala mengembang di senyumnya.
(Bersambung ke bagian 5 )
Sebundel Catatan Tim Artistik, Film Layar Lebar Perik Sidua-dua (Inseparable Souls In Tongging), Tour The Karo Vulkano Park, 26-30 Desember 2022, ditulis oleh pemimpin Teater Rumah Mata
© Copyright 2024, All Rights Reserved