Keberadaan buzzer tidak berbeda dengan para preman pinggir jalan. Perbedaannya hanya mengenai tempat mereka berada, dimana preman pinggir jalan berkeliarannya di pinggir-pinggir jalanan, sedangkan buzzer berkeliaran di media sosial atau dunia maya.
Demikian disampaikan Imam Besar Masjid Islamic Center New York AS, Imam Shamsi Ali dalam iskusi virtual dengan tema "Beda Kritis dan Radikalis" yang digelar oleh Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (16/2).
"Buzzer itu preman media sosial yang berkeliaran," katanya.
Karena itu kata Imam, ada hal yang salah ketika mereka dipergunakan oleh pemerintah selaku pihak formal pemegang kekuasaan untuk kepentingan mereka. Sekalipun dengan alasan untuk menyampaikan berbagai kebijakan pemerintah kepada masyarakat.
"Karena mereka (pemerintah) sudah memiliki institusi untuk itu, ada Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada juru bicara dan lainnya yang formal. Kenapa buzzer yang dipakai untuk suarakan suara pemerintah?," ujarnya.
Menurut Imam, kondisi ini menjadi salah satu pemicu banyaknya persoalan terkait kebebasan berpendapat di Indonesia. Dimana, kelompok buzzer belakangan ini justru menjadi semakin liar dengan menyerang individu-individu yang mengkritik pemerintah. Dan ironisnya, undang-undang ITE seolah menjadi senjata ampuh bagi kaum penguasa untuk menjerat para pengkritik.
"Jadi ini sesungguhnya sama dengan preman pinggir jalan yang dipakai. Itu sama dengan menggunakan gangster untuk keperluan formal. Saya juga mengatakan undang-undang ITE yang sangat debateable itu perlu direvisi," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved