Praktik politik uang akan sangat sulit diberantas sepanjang kondisi perekonomian masyarakat masih terpuruk. Bahkan kondisi sebaliknya justru akan terjadi dimana masyarakat akan menilai pemberian uang dari para pasangan calon yang maju pada agenda pilkada sebagai penolongnya di masa sulit. "Money politik dalam keterpurukan ekonomi akan sulit diberantas jika tidak ada rasa prihatin yang dibangun secara bersama oleh seluruh elemen masyarakat," kata pengamat politik Bengkel Ginting, Rabu (19/8). Dosen FISIP USU yang juga mantan Komisioner KPU Sumatera Utara ini menjelaskan, diskusi mengenai politik uang menjadi hal yang selalu muncul setiap momen pemilu baik pemilu presiden, legislatif termasuk pada pilkada kabupaten/kota. Akan tetapi sejauh ini, ia melihat diskusi-diskusi tersebut hanya pada tataran yang naratif dan belum menghasilkan rekomendasi praktis untuk mencegah money politik. Secara sosiologi politik menurut Bengkel, pemilih terbagi dalam 40 persen kelas bawah, 40 persen masyarakat tingkat menengah dan 20 persen kalangan masyarakat atas. Diskusi-diskusi mengenai pencegahan money politik ini menurutnya hanya dapat diserap pada dua kalangan saja yakni pada masyarakat tingkat menengah dan atas. "Sedangkan untuk kalangan masyarakat bawah, diskusi soal money politik ini tidak akan bisa diserap. Dan ini juga yang akan digarap oleh pihak yang ingin memainkan strategi money politik untuk meraih kemenangan pada agenda pemilu dan pilkada," ujarnya. Bengkel menilai, saat ini tidak lagi cukup hanya tataran diskusi untuk menyelesaikan persoalan ini. Melainkan aksi langsung dengan aktif mengajak berbagai elemen masyarakat yang berhubungan langsung dengan kalangan masyarakat bawah tersebut dalam langkah pencegahan. Elemen-elemen ini yakni kalangan rohaniawan, tokoh masyarakat, NGO, mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi. "Aksi untuk menumbuhkan budaya malu untuk menerima uang dalam praktik money politik yang harus segera dilakukan. Dan tokoh agama, rohaniawan, tokoh masyarakat yang perlu digandeng untuk terlibat. Ini tentunya dilakukan dengan metode inteligen," sebutnya. Selain budaya malu yang dipahamkan lewat keterlibatan ini, tentunya kata Bengkel tindakan tegas terhadap pelaku money politik menjadi hal yang harus ditegakkan. "Dan ini sudah diatur lewat undang-undang dengan hadirnya Bawaslu yang sudah permanen hingga tingkat kabupaten/kota dan juga polisi serta kejaksaan untuk menegakkan sanksi bagi yang melanggar," pungkasnya.[R]
Praktik politik uang akan sangat sulit diberantas sepanjang kondisi perekonomian masyarakat masih terpuruk. Bahkan kondisi sebaliknya justru akan terjadi dimana masyarakat akan menilai pemberian uang dari para pasangan calon yang maju pada agenda pilkada sebagai penolongnya di masa sulit. "Money politik dalam keterpurukan ekonomi akan sulit diberantas jika tidak ada rasa prihatin yang dibangun secara bersama oleh seluruh elemen masyarakat," kata pengamat politik Bengkel Ginting, Rabu (19/8). Dosen FISIP USU yang juga mantan Komisioner KPU Sumatera Utara ini menjelaskan, diskusi mengenai politik uang menjadi hal yang selalu muncul setiap momen pemilu baik pemilu presiden, legislatif termasuk pada pilkada kabupaten/kota. Akan tetapi sejauh ini, ia melihat diskusi-diskusi tersebut hanya pada tataran yang naratif dan belum menghasilkan rekomendasi praktis untuk mencegah money politik. Secara sosiologi politik menurut Bengkel, pemilih terbagi dalam 40 persen kelas bawah, 40 persen masyarakat tingkat menengah dan 20 persen kalangan masyarakat atas. Diskusi-diskusi mengenai pencegahan money politik ini menurutnya hanya dapat diserap pada dua kalangan saja yakni pada masyarakat tingkat menengah dan atas. "Sedangkan untuk kalangan masyarakat bawah, diskusi soal money politik ini tidak akan bisa diserap. Dan ini juga yang akan digarap oleh pihak yang ingin memainkan strategi money politik untuk meraih kemenangan pada agenda pemilu dan pilkada," ujarnya. Bengkel menilai, saat ini tidak lagi cukup hanya tataran diskusi untuk menyelesaikan persoalan ini. Melainkan aksi langsung dengan aktif mengajak berbagai elemen masyarakat yang berhubungan langsung dengan kalangan masyarakat bawah tersebut dalam langkah pencegahan. Elemen-elemen ini yakni kalangan rohaniawan, tokoh masyarakat, NGO, mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi. "Aksi untuk menumbuhkan budaya malu untuk menerima uang dalam praktik money politik yang harus segera dilakukan. Dan tokoh agama, rohaniawan, tokoh masyarakat yang perlu digandeng untuk terlibat. Ini tentunya dilakukan dengan metode inteligen," sebutnya. Selain budaya malu yang dipahamkan lewat keterlibatan ini, tentunya kata Bengkel tindakan tegas terhadap pelaku money politik menjadi hal yang harus ditegakkan. "Dan ini sudah diatur lewat undang-undang dengan hadirnya Bawaslu yang sudah permanen hingga tingkat kabupaten/kota dan juga polisi serta kejaksaan untuk menegakkan sanksi bagi yang melanggar," pungkasnya.© Copyright 2024, All Rights Reserved