(Bagian Akhir)
Apakah proses Seleksi Pemilihan Calon Anggota KPID Sumut periode 2021-2024 di Komisi A DPRD Sumut sungguh-sungguh sesuai dengan prosedur hukum?
Atau justeru terbawa arus politik dan menyimpang jadi kejanggalan fenomenal pada hal vital yang berakibat fatal dan kemudian menjadi viral?
Lebih dari sekedar menarik. Ada misteri besar yang perlu diungkap dan dikaji secara kritis. Harapannya, publik dan stake holder lebih memahami duduk perkaranya. Ke depan, untuk menghadapi tantangan berat era digital 4,0 dan metaverse (avatar), lembaga KPID Sumut makin kuat pegang amanat dan bermartabat.
Politik Jungkir-Balik
Perlu kita catat, masing-masing kandidat yang berjumlah 21 orang itu sudah melalui proses yang panjang. Jauh sebelum maju sebagai calon komisioner, mereka sudah melawati tangga-tangga pendidikan dan tingkatan keahlian tertentu. Hingga kemudian memiliki kapasitas intelektual dan kompetensi keahlian di bidang penyiaran.
Dan dengan itu semua, mereka menemukan peluang atau kesempatan dan menyatakan siap maju sebagai calon anggota KPID Sumatera Utara periode 2021-2024.
Walau peraturan tidak memperkenankan mereka menjadi anggota/kader partai politik, ke-21 kandidat itu sudah bergaul luas dan bebas. Bukan hanya dengan politisi di lembaga legislatif dan pejabat eksekutif/yudikatif. Tapi juga senantiasa dekat dan selalu hidup dengan masyarakat luas (publik).
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tekad mereka untuk menjadi komisioner itu sudah menjadi aspirasi masyarakat. Lebih-lebih karena dukungan formal masyarakat dalam bentuk pernyataan tertulis sebagai salah satu persyaratan untuk mendaftar.
Singkat katanya, mereka sendiri sudah menjadi aspirasi masyarakat. Secara langsung atau tidak langsung, sedikit atau banyak, justeru masyarakat turut memperjuangkan mereka. Dengan begitu, tidak mustahil, mereka sendiri sudah menjadi ikon atau simbol keinginan masyarakat.
Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, mereka yang sekarang menyoal fit and proper test (FPT) Komisi A itu sudah memiliki potensi untuk menjadi bagian utama dari, atau bahkan menjadi unsur terpenting, konstituen. Mereka termasuk wujud dari simpul-simpul suara yang sangat dibutuhkan partai politik.
Begitulah, terjadi proses sejenis massifikasi personalitas dan kristalisasi aspirasi dalam kepribadian calon komisioner. Kandidat yang merasa sangat kecewa itu berharap untuk menjadi komisioner sejati. Ini tentu terus menguat sejak pendaftaran hingga uji publik, FPT dan perjuangan mendapatkan hak.
Karena sudah menjadi informasi yang dapat dikonsumsi publik dengan semakin luas, seleksi di Komisi A itu sendiri mencapai predikat “seksi” (sangat tampak) setelah melampaui titik klimaks publikasinya.
Anggota Komisi A yang terdiri dari 20 orang dan jelas-jelas datang dari beberapa partai politik itu, sepertinya lupa atau sengaja mengabaikan fakta massifikasi dan kristalisasi di atas. Proses yang terjadi di depan mata parpol itu berpotensi besar untuk menambah atau mengurangi jumlah perolehan suaranya.
Bahkan, berpeluang membuat loncatan politis yang lebih signifikan dengan aksi sehari-hari mereka, mohon maaf, termasuk jika dibandingkan dengan beberapa politisi di Komisi A yang ikut memainkan “tarian seksi” itu.
Sebagai potensi, personalitas dan integritas para kandidat yang makin teruji mumpuni itu dapat berimbas positif atau negative secara langsung dengan magnitude yang besar. Tergantung sikap, tindakan dan kekaderan politisi yang ada di Komisi A itu. Ayo, mau apa?
Pilihannya, saya kira bisa dengan tiga opsi, menganggap potensi itu sebagai: 1) nilai yang idealistis dan bertindak akademis; 2) investasi dan bertindak secara realistis, atau 3) hasil komersial dan bertindak politis.
Sebagai kesaksian (testimoni), saya melihat bahwa yang menjadi pilihan sebagian oknum anggota Komisi A adalah yang ketiga. Tidak ada fakta yang dapat disodorkan untuk menolak asumsi bahwa mereka bersikap politis dan nekad mendapatkan hal yang paling menguntungkan secara komersial.
Tetapi di sisi lain, ironisnya, tak dapat ditepis juga bahwa mereka berusaha membungkusnya dengan citra (baca: kesan) idealistis.
Itulah yang kami sebut sebagai “politik jungkir-balik”. Ketika harus terus berinvestasi mengisi ruang-ruang konsolidasi jelang Pemilu 2024, mereka justeru melakukan langkah sebaliknya (komersial).
Mereka memperlakukan potensi para komisioner sebagai nilai pragmatis yang dapat digunakan secara langsung dengan atau tanpa mengabaikan kehendak atau pilihan (perintah) fraksi/pimpinan di DPRD Sumut.
Target Politik
Dalam visi saya, yang paling bernilai bagi partai dan politisi-nya adalah performa dan kinerja para komisioner yang bakal benar-benar terpilih nantinya untuk mengisi lembaga KPID Sumut. Jika KPID-nya baik, DPRD Sumut sebagai lembaga politik tentu makin kuat.
Apabila DPRD Sumut bisa membuktikan dirinya bermartabat, rakyat pun akan merasakan secara langsung bahwa partai dan politisi-nya memang memegang amanat.
Jika memang target akhirnya adalah martabat lembaga, uji publik dan FPT itu seharusnya menghasilkan peringkat (ranking) nilai yang idealistis.
Setelah muncul calon yang sungguh-sunghuh terpilih untuk menjadi komisioner (ranking 1-7), konsolidasi dapat dilaksanakan secara realistis tanpa menabrak aturan mana pun.
Malahan, politisi di Komisi A pun sesungguhnya tetap punya ruang dan dapat memberikan tawaran realistis kepada calon yang termasuk cadangan (ranking 8-14) dan calon kalah (ranking 15-21). Setidaknya, jika itu dilakukan, bisa saja tidak ada alasan untuk menolak, apalagi untuk menggugat, hasil sidangnya hingga ke Ombudsman RI, BKD (Badan Kehormatan Dewan) DPRD Sumut dan mungkin juga ke Kepolisian, Pengadilan Negeri atau PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Tapi, soal SK perpanjangan masa tugas tiga komisioner yang tersisa itu adalah hal lain. Sudah ada mahkamah yang akan menyikapinya. Jelas dan pasti.
Makanya, saya lihat, jalan keluar dari polemik yang bersifat problematik ini ada dua:
1) Komisi A menyerah saja, dan agendakan kegiatan "kocok ulang" seleksi calon anggota KPID Sumut periode 2022-2025 di Komisi A.
2) Panggil kembali Tim Seleksi yang tempo hari sudah merampungkan pekerjaannya dan berikan lagi penugasan baru untuk menggelar seleksi mulai dari awal lagi.
Pilihan yang kedua jelas tak sederhana. Rumit. Persoalannya akan kembali ke illegalitas surat keterangan Sekdaprovsu yang sudah diperlakukan sebagai SK itu. Pesan saya, kita sederhanakan saja. Jangan buat kekusutan baru. Hindari sikap nekad! Bersiaplah dengan seelegan mungkin untuk Pileg 2024.(Habis)
*Penulis adalah Anggota DPRD Mandailing Natal periode 2014-2019 dan Calon Anggota KPID Sumut 2021-2024
© Copyright 2024, All Rights Reserved