Kasus Kuliah Kerja di China
Satgas Anti Kerja Paksa menemukan bahwa praktek ini disalurkan oleh sebuah agen di Surabaya yang menargetkan siswa-siswi lulusan SMA. Dengan iming-iming kuliah sambil kerja, banyak siswa-siswi yang terjerat dengan tawaran ini.
Setelah agen membantu pengurusan seluruh dokumen, para korban terbang menuju salah satu kota di Tiongkok bagian Selatan dengan status visa \'study working\'. Setibanya disana, ada pihak yang menjemput dan membawa para korban ke sebuah kampus, namun para calon diminta untuk menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu mereka dibawa ke sebuah pabrik.
Selama kerja kuliah, para korban diminta untuk bekerja selama lima hari dan kuliah selama dua hari. Diadakan absensi setiap harinya dan pemotongan gaji bila tidak hadir dan diwajibkan untuk kerja lembur hingga pukul 02.00 dini hari.
Gaji setiap bulannya berjumlah RMB 500 â€\" 1000 (kurang lebih Rp 1000.000 â€\" 2000.000), dipotong uang kuliah RMB 700 (Rp 1.400.000). Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan medapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik.
Kuliah Kerja di Taiwan Pasca Viral
Sebelumnya, terjadi kasus viral serupa yang terjadi di Taiwan yang berakhir gantung karena hingga kini belum ada langkah konkrit yang diambil oleh pihak pemerintah Indonesia. PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kunjungan langsung ke universitas dan mahasiswa yang saat ini sedang menjalankan program ini, untuk melihat keadaan secara langsung. Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program, karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya.
Lebih lanjut temuan tim Satgas melihat sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa. Fakta yang ditemukan, Agen Pendidikan sangat aktif untuk mempromosikan kuliah di luar negeri dengan iming-iming dapat memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa ataupun tawaran kerja dan kuliah dengan beban kuliah ringan sehingga bisa sekaligus menabung.
PPI Kawasan Asia-Oseania melihat program ini bisa saling menguntungkan bagi pihak mahasiswa Indonesia yang ingin kuliah ke luar negeri dan negara penerima.
\"Merasakan tingginya antusiasme mahasiswa Indonesia untuk kuliah di luar negeri tanpa membebani orang tua, sangat disayangkan bisa terjadi kasus seperti ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk turun tangan langsung. Dan mendesak Kemenristek Dikti untuk memverifikasi agen-agen pendidikan yang memberangkatan mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke daerah Asia Timur,\" tutup Galant Al Barok selaku Koordinator PPI Kawasan Asia-Oseania.
Tentang Satgas Anti Kerja Paksa PPI Kawasan Asia-Oseania
Satuan Tugas Anti Kerja Paksa merupakan inisiatif dari organisasi PPI Kawasan Asia-Oseania yang terdiri dari PPI negara Australia, Brunei Darussalam, Filipina, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Taiwan, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh.
Satgas ini beranggotakan mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang dengan tugas utama mencari dan memverifikasi serta mendata mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti program Kuliah Kerja di negara Asia Timur.
Saat ini, Satgas masih terus bekerja mendata sembari menyiapkan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan ini.
" itemprop="description"/>
Kasus Kuliah Kerja di China
Satgas Anti Kerja Paksa menemukan bahwa praktek ini disalurkan oleh sebuah agen di Surabaya yang menargetkan siswa-siswi lulusan SMA. Dengan iming-iming kuliah sambil kerja, banyak siswa-siswi yang terjerat dengan tawaran ini.
Setelah agen membantu pengurusan seluruh dokumen, para korban terbang menuju salah satu kota di Tiongkok bagian Selatan dengan status visa \'study working\'. Setibanya disana, ada pihak yang menjemput dan membawa para korban ke sebuah kampus, namun para calon diminta untuk menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu mereka dibawa ke sebuah pabrik.
Selama kerja kuliah, para korban diminta untuk bekerja selama lima hari dan kuliah selama dua hari. Diadakan absensi setiap harinya dan pemotongan gaji bila tidak hadir dan diwajibkan untuk kerja lembur hingga pukul 02.00 dini hari.
Gaji setiap bulannya berjumlah RMB 500 â€\" 1000 (kurang lebih Rp 1000.000 â€\" 2000.000), dipotong uang kuliah RMB 700 (Rp 1.400.000). Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan medapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik.
Kuliah Kerja di Taiwan Pasca Viral
Sebelumnya, terjadi kasus viral serupa yang terjadi di Taiwan yang berakhir gantung karena hingga kini belum ada langkah konkrit yang diambil oleh pihak pemerintah Indonesia. PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kunjungan langsung ke universitas dan mahasiswa yang saat ini sedang menjalankan program ini, untuk melihat keadaan secara langsung. Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program, karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya.
Lebih lanjut temuan tim Satgas melihat sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa. Fakta yang ditemukan, Agen Pendidikan sangat aktif untuk mempromosikan kuliah di luar negeri dengan iming-iming dapat memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa ataupun tawaran kerja dan kuliah dengan beban kuliah ringan sehingga bisa sekaligus menabung.
PPI Kawasan Asia-Oseania melihat program ini bisa saling menguntungkan bagi pihak mahasiswa Indonesia yang ingin kuliah ke luar negeri dan negara penerima.
\"Merasakan tingginya antusiasme mahasiswa Indonesia untuk kuliah di luar negeri tanpa membebani orang tua, sangat disayangkan bisa terjadi kasus seperti ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk turun tangan langsung. Dan mendesak Kemenristek Dikti untuk memverifikasi agen-agen pendidikan yang memberangkatan mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke daerah Asia Timur,\" tutup Galant Al Barok selaku Koordinator PPI Kawasan Asia-Oseania.
Tentang Satgas Anti Kerja Paksa PPI Kawasan Asia-Oseania
Satuan Tugas Anti Kerja Paksa merupakan inisiatif dari organisasi PPI Kawasan Asia-Oseania yang terdiri dari PPI negara Australia, Brunei Darussalam, Filipina, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Taiwan, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh.
Satgas ini beranggotakan mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang dengan tugas utama mencari dan memverifikasi serta mendata mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti program Kuliah Kerja di negara Asia Timur.
Saat ini, Satgas masih terus bekerja mendata sembari menyiapkan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan ini.
"/>
Kasus Kuliah Kerja di China
Satgas Anti Kerja Paksa menemukan bahwa praktek ini disalurkan oleh sebuah agen di Surabaya yang menargetkan siswa-siswi lulusan SMA. Dengan iming-iming kuliah sambil kerja, banyak siswa-siswi yang terjerat dengan tawaran ini.
Setelah agen membantu pengurusan seluruh dokumen, para korban terbang menuju salah satu kota di Tiongkok bagian Selatan dengan status visa \'study working\'. Setibanya disana, ada pihak yang menjemput dan membawa para korban ke sebuah kampus, namun para calon diminta untuk menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu mereka dibawa ke sebuah pabrik.
Selama kerja kuliah, para korban diminta untuk bekerja selama lima hari dan kuliah selama dua hari. Diadakan absensi setiap harinya dan pemotongan gaji bila tidak hadir dan diwajibkan untuk kerja lembur hingga pukul 02.00 dini hari.
Gaji setiap bulannya berjumlah RMB 500 â€\" 1000 (kurang lebih Rp 1000.000 â€\" 2000.000), dipotong uang kuliah RMB 700 (Rp 1.400.000). Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan medapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik.
Kuliah Kerja di Taiwan Pasca Viral
Sebelumnya, terjadi kasus viral serupa yang terjadi di Taiwan yang berakhir gantung karena hingga kini belum ada langkah konkrit yang diambil oleh pihak pemerintah Indonesia. PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kunjungan langsung ke universitas dan mahasiswa yang saat ini sedang menjalankan program ini, untuk melihat keadaan secara langsung. Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program, karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya.
Lebih lanjut temuan tim Satgas melihat sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa. Fakta yang ditemukan, Agen Pendidikan sangat aktif untuk mempromosikan kuliah di luar negeri dengan iming-iming dapat memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa ataupun tawaran kerja dan kuliah dengan beban kuliah ringan sehingga bisa sekaligus menabung.
PPI Kawasan Asia-Oseania melihat program ini bisa saling menguntungkan bagi pihak mahasiswa Indonesia yang ingin kuliah ke luar negeri dan negara penerima.
\"Merasakan tingginya antusiasme mahasiswa Indonesia untuk kuliah di luar negeri tanpa membebani orang tua, sangat disayangkan bisa terjadi kasus seperti ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk turun tangan langsung. Dan mendesak Kemenristek Dikti untuk memverifikasi agen-agen pendidikan yang memberangkatan mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke daerah Asia Timur,\" tutup Galant Al Barok selaku Koordinator PPI Kawasan Asia-Oseania.
Tentang Satgas Anti Kerja Paksa PPI Kawasan Asia-Oseania
Satuan Tugas Anti Kerja Paksa merupakan inisiatif dari organisasi PPI Kawasan Asia-Oseania yang terdiri dari PPI negara Australia, Brunei Darussalam, Filipina, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Taiwan, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh.
Satgas ini beranggotakan mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang dengan tugas utama mencari dan memverifikasi serta mendata mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti program Kuliah Kerja di negara Asia Timur.
Saat ini, Satgas masih terus bekerja mendata sembari menyiapkan rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan ini.
"/>